Dokter Murah Yang Qualified

22 01 2009

Apa yang membuat seseorang sakit gigi, ketika dompetnya tipis, anaknya sedang sakit panas, sementara pekerjaan seabrek belum terselesaikan ? Sebuah kutukankah ini ? Karena mulut yang sulit menjaga perkataan, karena tangan yang lebih sering menadah daripada memberi ?

Pertanyaan itu menggelitik otak saya sepanjang malam, ketika anak demam dan panasnya mencapai 38 derajat dan gigi senut-senut seperti digigit lebah. Seolah-olah lebah Jepang telah masuk disaat mulut sedang menguap lebar, hinggap di gusi, masuk kedalam lubang gigi yang keropok, dan menyengat bagian dasarnya. Obat tradisional Cina Tjap Boeroeng Kakatua-pun tak sanggup mengakhiri penderitaan, setelah tablet analgesic-pun tak mampu meredakan nyeri saraf gigi sepanjang hari. Episode sakit gigi kali ini jadi cukup dramatis karena, terjadi tepat di waktu tengah bulan, ketika kantong nyaris tipis tersedot biaya hidup sehari-hari, dan pekerjaan seabrek menunggu selesai dikerjakan.

“Besok berobat saja, Bang. Biar nggak bengkak dan keterusan.” nasihat istri yang juga ikut-ikutan mumet, sebab tugasnya membuat bahan ajar belum kelar, dan anak kami demam sepanjang malam. Saya iyakan anjurannya itu dengan mengangguk pendek, sambil membenamkan kepala bagian kanan keatas bantal empuk, yang sedikit mengurangi derita sakit gigi yang sempat diolok-olok para sepupu sebagai : derita yang layak masuk nominasi “Sakit Gigi Tahun Ini.”

***

Apa yang dikatakan kaum sepupu, tentang “Sakit Gigi Tahun Ini” itu menjadi kenyataan, ketika saya berobat ke poli gigi dan bibir saya keserempet mata bor sang dokter. Begini ceritanya :

Pada pagi hari di kamis yang menegangkan itu, saya memilih berobat ke sebuah poli gigi yang masih satu daerah dengan lokasi kantor. Poli gigi itu saya pilih setelah mencocokkan harga kanan-kiri, survei pasaran biaya dokter gigi sekitar kantor, sekitar rumah, dan beberapa dokter terkenal di Bandung. Spesialis rata-rata matok biaya pengobatan Rp. 70.000,- sekali datang, dan poli gigi-poli gigi tertentupun biaya praktek tok-nya sekitar Rp. 50.000,- Nah, poli gigi di dekat kantor itu biaya prakteknya dibawah Rp.50.000,- sudah plus analgesic, antibiotik dan anti-radang.

Sebelumnya saya sudah lega dan yakin betul bahwa proses pengobatan gigi akan berlangsung lancar, mengingat sang dokter terlambat hampir setengah jam. Mengapa saya yakin bahwa dokter tersebut adalah dokter ahli ? Menurut ibu saya, dokter ahli itu sering terlambat datang ke tempat praktek, karena jasanya dibutuhkan di mana-mana. Menurut nasihat ibu, dengan tenang dan santai saya menunggu kedatangan tokoh yang ternyata menjadi ‘Fredi Krueger’ buat saya di hari itu.

Perasaan saya berubah resah, diwaktu seseorang menapaki tangga dengan begitu grasa-grusu, dengan helm masih melekat di kepala. “Assalamu’alaikum, Dok.”sapa petugas poliklinik yang kemudian berbisik-bisik dengan kawan disebelahnya sambil tertawa kecil. Telinga saya sedikit menangkap bisik-bisik mereka, yang kira-kira berbunyi : “Untung dokter A nggak ada..”ujar sang petugas sambil menyebut nama yang ditulis paling atas dalam organigram pengurus poliklinik, “Kalau tidak pasti dimarahi lagi.”

Sesuai dengan bahasa tubuhnya, sang dokter muda mengawali perawatan gigi saya dengan sedikit terburu-buru. Akibatnya, gigi saya yang sakit dan sedikit rapuh itu tanggal sebagian. Belum habis trauma dan belum hilang perasaan ngilu, sang dokter bersiap melakukan pengeboran, membuat saya tambah kecut dan tegang. Kali pertama bor itu menyentuh geraham saya, dan entah bagaimana kejadiannya, tiba-tiba serasa ada yang berputar menusuk bibir bagian dalam. Meski agak sakit saya belum menyadari, bahwa bagian dari bor gigi itu telah melukai kulit belakang bibir. Baru kali kedua saya terperanjat, membuka mata, sebab bagian bor itu kembali menyakiti bagian kulit yang sama.

“Maaf.” ucap sang dokter pendek, ketika mental berobat saya sudah turun sama sekali. Rasanya ingin cepat keluar dari klinik itu. Membawa ngilu, membawa degup jantung yang makin tak beraturan, serta bibir yang perih menambah derita gusi dan gigi.

Satu minggu kemudian, saya memutuskan untuk tidak melanjutkan berobat ke poli gigi tersebut. “Harga tidak pernah bohong.”ujar Indra ‘Donat’, kolega dekat saya di kantor. Mengikuti nasihatnya saya memutuskan untuk berobat ke spesialis saja, dokter konsulen yang sudah senior, dan tentunya punya pengalaman merawat gigi saya yang – menurut dokter yang saya datangi pertama- letak bolongnya di samping dan sedikit susah dibor. Setelah bertanya kiri-kanan lagi, saya putuskan untuk melanjutkan perawatan ke praktek spesialis langganan seorang teman kantor. Sekali konsul biayanya Rp.70.000,- “Kalau sama obat sekitar seratus ribuan,”info kawan saya itu.

Hari kamis sore seminggu berikutnya, saya pergi menuju tempat praktek yang direkomendasikan dan letaknya sejalur dengan jalan pulang. “Mahal tak apalah asal selamat,” bisik hati saya. Selain itu, saya bisa berobat dan sekalian pulang ke rumah. Tidak perlu mengambil waktu kerja pagi hari, sebagaimana bila saya berobat ke klinik yang pertama.

“Mahal tak apalah, asal selamat.”bisik hati saya lagi-lagi, ketika saya akan berbelok menuju tempat praktek spesialis rekomendasi teman. Aneh, bisikan itu malah membuat saya bulat tekad, untuk tidak menuju ke lokasi yang direkomendasikan itu. Saya malah mengambil arah menuju lokasi praktek dokter yang sempat saya survei sehari sebelumnya. Ia terletak di sebuah kompleks perumahan elit. Tempat pejabat dan pengusaha kota Bandung bertinggal, dan saya kira pasti mematok biaya berobat lumayan mahal. “Mahal tak apalah, asal selamat.”bisik hati ini untuk kesekian kali.

***

Dengan bekal uang Rp. 150.000,- saya mendatangi tempat praktek spesialis orthodenti, yang sore ketika saya datang tampak begitu sepi tanpa tanda-tanda praktek dan antrian pasien. Sempat hati ini ragu, meski sudah membaca tulisan di gerbang bahwa praktek masih buka. Untunglah. Saya tak perlu lama bertanya-tanya, sebab seseorang dengan dandanan seorang batur, tiba-tiba muncul membukakan gerbang. Ia lalu mengantarkan saya ke ruang tunggu. Tak sampai lima menit, saya dipersilahkan untuk masuk ke ruang praktek, dan singkat cerita : saya langsung menikmati pelayanan spesial dan penuh kehati-hatian, dari ibu dokter setengah baya, yang merawat gigi saya dengan super teliti. Sikapnya yang kalem membuat saya tenang dan percaya, bahwa ibu dokter yang satu ini memang dokter berpengalaman dan ahli.

“Berapa biaya prakteknya, Bang ? Pasti mahal, ya.”tanya istri waktu saya menceritakan pengalaman berobat sore itu.

“Nggak. Cuma dua puluh lima ribu sama obat !”jawab saya, dengan kalimat antusias seolah tidak percaya.

“Wah, murah sekali. Nggak pakai antri, ruang prakteknya sejuk dan mewah lagi.”kata istri saya selesai mendengar deskripsi suasana rumah dan ruang praktek dokter spesialis itu.

“Iya. Itulah, Dik. Poliklinik kok malah lebih mahal dari spesialis. Mungkin plus bayar ongkos tunggu sama bayar nge-bor bibir kali, ya ?”

Istri saya tersenyum pahit mendengar kata-kata saya yang terakhir. Sambil dongak-dongak menatap gigi geraham saya yang sedang menjalani rawat syaraf itu, istri saya mengingatkan bahwa belum tentu biaya berobat ke spesialis itu mahal. Saya seakan kembali diingatkan pada pengalaman-pengalaman sebelum ini, ketika saya berobat ke seorang spesialis jaringan dan spesialis bedah mulut, yang bahkan pernah membebaskan biaya berobat kepada saya. Ya, saya jadi teringat jasa mereka yang pernah membantu pengobatan saya di tahun-tahun silam. Sayang, tahun-tahun belakangan saya tidak pernah kontak dengan mereka, sebab sikap saya yang sering menganggap enteng silaturrahmi. “Silaturrahmi cuma waktu butuh saja..”hati ini berbisik menyalahkan.

Ahh, betapa saya harus menajamkan hati lagi untuk memetakan hikmah dari pengalaman. Sungguh saya telah gagal mengambil hikmah dari pengalaman, bahwasanya belum tentu semua yang spesial dan istimewa itu menuntut kompensasi mahal. Untuk kesekian-kali Allah menunjukkan kepada saya, bahwa yang murah tapi spesial itu masih ada, di dunia yang serba materialis dan kapitalistik ini. Diantara relasi masyarakat modern yang kerap menuntut pamrih, ternyata saya masih sempat dipertemukan, dengan jiwa-jiwa yang berusaha bebas dari kecenderungan menuntut balas jasa. Alhamdulillah. Pengalaman dan ingatan-ingatan itu membuat istirahat malam saya menjadi lebih tenteram. Gigi sudah tidak begitu sakit, demam anak saya sudah mulai turun, dan uang di dompet masih tersisa Rp. 125.000,- Padahal, saya sempat menyangka, uang di dompet itu nantinya paling bersisa lima puluh ribu rupiah saja. “Jangan rupiah saja yang melulu kau jadikan ukuran.”bisik nasehat hati sebelum saya terlelap di alam mimpi.”Masih ada kok dokter murah yang pelayanannya gak murahan.”


Actions

Information

Leave a comment