Good Father For Indonesia

22 01 2009

Sejak menjadi bagian dari PT. Insani Technology, saya suka banget merhatiin segala tindak-tanduk Pak Hilmy. Kebijakan-kebijakannya perihal kantor, kesukaannya terhadap sesuatu, dan keapikannya dalam perkara ibadah. Kesan pertama dari pengamatan saya, Pak Hilmy adalah atasan yang sangat berkhidmat kepada para bawahannya. Berbeda dari atasan-atasan saya sebelumnya yang selalu menuntut, mengedepankan punishment, tapi banyak beralasan atau ngedadak galak waktu ditagih janji soal reward.

Untuk urusan ibadahpun Pak Hilmy berhak atas nilai 9, mengingat di anak perusahaan dimana saya baru bergabung itu, beliau kerap memberi contoh mengawalkan shalat, mengerjakan shaum sunnah, dan memerintahkan kami untuk menomorduakan pekerjaan rutin di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Atas kebijakan Pak Hilmy, pada sepuluh hari terakhir Ramadhan jam kerja karyawan dimulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 10.00. Memang para karyawan tidak diijinkan pulang, karena jadwal kerja di bulan Ramadhan menurut corporate yang menaungi anak perusahaan, adalah sampai pukul 15.00. Namun sejak pukul 10.00 hingga pukul 15.00 itu, diselingi shalat dzuhur dan ashar, saya dan rekan-rekan lainnya berkesempatan mengkhatamkan bacaan Qur’an. Alhamdulillah, banyak yang berhasil mengkhatamkan Qur’annya di bulan Ramadhan tahun lalu.

Selesai bulan Ramadhan, Pak Hilmy menerapkan banyak kebijakan baru, yang intinya adalah untuk menyamankan karyawan. Lingkungan kerja ditata rapi, dengan sekat-sekat kaca yang cukup mahal. Ruang makan dipugar, diberi bangku-bangku kafe, sehingga setiap siang dan sore karyawan bisa memanfaatkannya untuk istirahat. Pasca Ramadhan makan siang karyawanpun ditanggung oleh perusahaan. Memang tunjangan makan saya jadi berkurang sedikit. Walau bagaimanapun juga, saya mesti menghargai maksud baik Pak Hilmy bahwa dengan memperindah ruangan makan, karyawan bisa bergaul dalam suasana kebersamaan yang seronok dan akrab, disaat makan siang atau ngopi sore sebelum pulang. Makan siang ada yang mengantarkan, sedang camilan untuk ngopi sorepun tersedia setiap hari. Perlu digaris-bawahi, kebijakan tersebut membuat berbagai bidang yang berbeda garapan jadi semakin mengenal, semakin akrab, bisa saling bekerjasama. Para karyawan seolah-olah sudah bertahun-tahun duduk dalam satu atap.
**
Rumah Pak Hilmy kebetulan hanya berbeda dua jalan dari kantor. Setiap sore atau malam, mobil inventaris kantor ikut dititipkan di rumahnya. Kawan saya Rendra yang kerap ditugasi mengantarkan, sebab kebetulan waktu pulangnyapun suka lebih malam daripada rekan-rekan lain. Maklum, sebagai marketing dia punya banyak urusan, banyak klien yang minta bertemu selepas jam kantor, atau kebetulan ada pekerjaan konsep yang hampir masuk deadline. Maka, jadilah dia, orang yang paling bertanggungjawab mengantar mobil setiap malam, untuk dititipkan di kediaman Pak Hilmy.

Dalam satu kesempatan sarapan, Rendra menceritakan pengalaman pertamanya sewaktu mengantar mobil ke rumah Pak Hilmy. Pada kesempatan pertama, Rendra mengantarkan mobil selepas shalat ‘isya, pas ketika ia baru saja selesai meeting dengan seorang klien.

Sesampainya di rumah Pak Hilmy, sudah diketuk pintu pagarnya, sudah diklakson, tapi yang empunya rumah tak juga muncul menemui. Terpaksa Rendra menunggu beberapa saat, hingga sempat terbersit niat untuk pulang kembali ke kantor, menitipkan mobil kepada Wawan, sang penjaga kantor. Untung saja, tak berapa lama Pak Hilmy muncul bersama ketiga anaknya, tetapi tidak dari dalam rumah. Di dalam rumah rupanya hanya ada sang istri, yang tampaknya segan membukakan pintu, atau mungkin karena amanah suaminya yang mengharuskan begitu. Pak Hilmy dan ketiga anaknya sendiri muncul dari arah masjid. Pak Hilmy mengenakan baju koko, sedang anak-anaknya memakai kaus rapi, jalan beriringan, dan berusaha untuk jadi yang paling dekat dengan sang ayah.

“Akrab sekali sama bapaknya.”puji Rendra.”Sepertinya dilingkungan rumah maupun kantor, bos kita itu sama saja baiknya. Jarang lho anak lelaki yang sedekat itu dengan ayahnya. Apalagi, anak-anak jaman sekarang.”komentar Rendra menutup cerita pertamanya.
**
Pada kesempatan berikutnya, Rendra mengantarkan mobil lama setelah shalat ‘isya. Waktu itu, ia baru keliling-keliling bersama Dani, desainer grafis kantor kami yang kebetulan membutuhkan buku color finder. Buku pencari warna yang lumayan mahal itu baru didapatkan beberapa saat sebelum waktu ‘isya. Sehingga, Rendra baru bisa mengantarkan mobil jauh setelah waktu ‘isya.

Kali itu yang membukakan pintu adalah ketiga anak-anak Pak Hilmy, yang berhamburan dari dalam rumah sambil berteriak, “Abi, abi, abi !”

“Eh, bukan Abi, ya ?” Yusuf, anak Pak Hilmy yang paling sulung, yang pertama tersadar bahwa yang ada didalam mobil adalah anak buah bapaknya, bukan sang ayah yang sedari sore ditunggu-tunggu.

“Bukan Abi, Miii !”jerit si bungsu sambil berlari ke dalam rumah.

Setelah menerima kunci dari Rendra, Yusuf sang anak sulungpun mengikuti kedua adiknya yang sudah masuk lebih dulu. Langkahnya gontai menandakan kekecewaan, karena ayah yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga kembali.
**
“Pak Hilmy kayaknya ditunggu banget sama anak-anaknya, ya.”

“Iya, Bang. Dia pasti baik banget sama keluarganya. Sampai ditunggu-tunggu begitu…”

“Jangankan sama anak-anaknya, sama kita karyawannya aja baek banget, akrab banget. Apalagi sama keluarga.”

Rendra terdiam, selagi saya menghirup sisa kopi pagi itu. Sampai kemudian, Rendrapun kembali mengutarakan pendapat. “Dipikir-pikir bener banget apa yang pernah diucapin ama dosen saya dulu. Dia pernah bilang : good father adalah good leader. Dan good leader itu biasanya seorang good manager, Bang.”

“Artinya ?”

“Intinya sih, kalau kita mau jadi pemimpin yang baik, di rumah kita bisa latihan jadi ayah yang baik, sekaligus latihan jadi suami yang baik. Pengalaman Pak Hilmy mengajari kita bahwa sukses kepemimpinan bisa bahkan mesti diawali dengan latihan me-menej keluarga. Jadi good leader, good manager dulu buat istri ama anak-anak, baru kemudian berusaha menjadi pemimpin yang dicintai dan dihormati oleh orang-orang yang dipimpinnya di tempat kerja.”jawab Rendra dengan lugas.
**
Jawaban Rendra itu tiba-tiba terlintas di benak saya, waktu saya menyaksikan iklan televisi yang menampilkan profil seorang tokoh partai, di akhir pekan lalu. Iklan-iklan yang menonjolkan keunggulan profil, visi, misi, dan janji seorang tokoh memang sedang marak-maraknya menjelang Pemilu 2009. Ada yang menawarkan perubahan, lapangan kerja, pengentasan kemiskinan sampai yang spesifik : berjanji menyejahterakan para petani. Saya dan rata-rata yang pernah menonton tentu mafhum, sudah bisa menduga, bahwa mereka mengiklankan diri demi meraih simpati rakyat, supaya rakyat kelak memilih mereka untuk memimpin negeri ini.

Saya bertanya-tanya, apakah para tokoh, baik yang diusung ormas, parpol, atau tampil secara independen itu juga seorang Good Father di keluarganya ? Kalau mereka Good Father, apakah mereka juga seorang Good Manager di organisasi atau lembaga yang mereka urus ? Ah, saya khawatir, kalau mereka bukan Good Father, bukan Good Manager atau bukan kedua-duanya, mereka kelak hanya menjadi person yang “merasa penting” ketimbang “menjadi penting” dihadapan rakyatnya. Terus, bagaimana mungkin mereka bisa mengurus sebuah bangsa, jikalau mengurus sebuah lembaga, atau sebuah keluarga saja mereka tidak memenuhi syarat. Bahayanya lagi, orang yang “merasa penting” konon punya kecenderungan “membangun” dirinya sendiri, daripada membangun bangsa, negara, berikut nasib rakyat yang bernaung dibawahnya. Ah, semoga saja, para tokoh yang beriklan tersebut sudah melalui tahap perenungan yang jujur, bahwa keberaniannya menawarkan diri untuk memimpin negeri ini, salah satu pertimbangannya adalah karena hatinya secara jujur sudah mantap meyakini : “…bahwa saya sudah berhasil memimpin keluarga saya.”

Kalau begitu, setiap Good Father punya kans dong untuk jadi pemimpin diluar institusi keluarga ? Ya, hemat saya. Demi proses regenerasi kepemimpinan di negara ini, perlu diberikan penyadaran kepada semua lapisan masyarakat, bahwa seorang pemimpin hendaknya dibentuk sejak ia berada dalam naungan institusi keluarga. Potensi spiritual, intelektual maupun emosional seseorang dikembangkan melalui contoh penerapan atau keteladanan orangtuanya, sebagai penanggungjawab keluarga. Potensi spiritual dikembangkan misalnya dengan cara : orangtua mengajarkan tata cara dan merutinkan kegiatan ibadah berjamaah. Potensi intelektual dikembangkan misalnya dengan cara : orangtua senantiasa tampil sebagai sosok yang haus ilmu dihadapan anak-anaknya. Dan potensi emosional dikembangkan misalnya melalui kebiasaan bersedekah, menolong orang yang lemah, menyayangi yang lebih muda serta menghormati yang tua.

Indikator keberhasilan seseorang dalam memimpin keluarga itu baru bisa dilihat saat ia sudah menyandang predikat ayah atau suami (kepala keluarga), sementara potensinya untuk menjadi Good Father tentu saja sudah bisa dilihat saat ia tumbuh dari remaja menuju dewasa. Apa saja indikatornya ? Ya, minimal seperti pengalaman saya dan Rendra meng-“observasi” figur Pak Hilmy, seperti : istrinya manut dan taat waktu dikasih amanah, anak-anak dan istrinya nyaman atas keberadaan sang bapak, sang bapak mampu memotivasi kalangan keluarganya untuk beribadah tanpa paksaan. Sifat-sifat inilah yang selanjutnya dibawa ke organisasi atau ke tempat dimana sang bapak bekerja/beraktivitas. Insya Allah, para bawahan akan manut dan taat atas pengarahan pimpinan, para bawahan merasa nyaman bekerja dibawah pengawasan dan keberadaan sang pimpinan, dan para bawahanpun termotivasi untuk mengerahkan segenap kemampuannya demi pencapaian terbaik, dari tujuan organisasi/lembaga/perusahaan yang dipimpin oleh sang “Good Father & Good Manager.”

Setelah karakter “Good Father & Good Manager” tumbuh dalam keluarga, lalu dimatangkan dengan pengalaman mengelola suatu organisasi/lembaga/perusahaan, maka barulah karakter kepemimpinan tersebut layak diajukan untuk diuji pada posisi yang teramat serius dan super-berat tanggungjawabnya, yaitu : menduduki posisi penting buat “mengurus” nasib bangsa. Kalau sebelumnya yang diurus adalah nasib istri, anak-anak, kemudian karyawan atau anggota lembaga, maka selanjutnya yang akan menjadi urusan sang “Good Father & Good Manager” adalah nasib berjuta-juta rakyat negara ini. Bila prinsip-prinsip “Good Father & Good Manager” dalam keluarga dan lembaga tempat bekerja/beraktivitas diterapkan secara disiplin- meskipun tentu saja scope atau jangkauannya berbeda-, saya yakin bahwa sang “Good Father & Good Manager”lewat kerja keras dan karakternya bakal menjadi “Good Leader” yang baik buat negeri ini. Ia bakal membuat rakyatnya manut dan taat selama yang diperintahkan benar, rakyat merasa nyaman dan tenteram didalam naungan kepemimpinannya, akhirnya rakyat termotivasi untuk mendukung secara all-out serta ikhlas program-program pembangunan yang digariskan bersama kabinetnya.
**
Seandainya ide regenerasi kepemimpinan untuk Indonesia yang saya “racaukan” diatas didukung oleh niat baik dan uang yang cukup, mungkin saya bakal bisa memelopori sebuah gerakan moral yang diberi judul “Good Father For Indonesia.” Lewat gerakan moral tersebut rakyat akan bersama-sama aktif menyeleksi dan berpartisipasi aktif mencetak pemimpin-pemimpin Indonesia dengan semangat : “mulai dari saat ini, mulai dari lingkup yang terkecil, dan mulai dari keluarga sendiri”(sedikit plesetan konsep perubahan 3M-nya Aa Gym). Tapi sekarang, minimal saya akan membuka sebuah forum atau blog untuk mendukung gerakan moral “Good Father For Indonesia” ini. Meski terbatas biaya dan juga pas-pas-an saja idenya, saya tetap akan menjunjung semangat : “mulai dari saat ini, mulai dari blog gratisan, mulai dari forum dimana sang webmaster mengijinkan”, dalam menggulirkan gerakan moral ini. Ah, bismillah aja deh !


Actions

Information

Leave a comment