Strategi Tumbuhkan Minat Menabung Sejak Dini

23 01 2009

Penulis mengenal bank berikut aktivitas didalamnya, semenjak duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Kebetulan saja, Ibu selalu mengajak penulis ikut, disaat beliau hendak melakukan transaksi di bank tempat ia menabung. Karena Ibu dahulu seorang wirausahawati, maka frekwensi kunjungan kami ke bank termasuk sering. Adakalanya, kami mengunjungi bank 3 kali dalam seminggu. Untuk menyetor uang, untuk menukarkan uang, atau hanya untuk sekadar mencek jumlah saldo tabungan.

Pada saat penulis menginjak usia sekolah dasar, dikarenakan jadwal masuk sekolah, Ibu mulai jarang mengajak penulis berkunjung ke bank. Beliau biasa pergi ke bank di pagi hari, sementara penulis harus masuk sekolah sampai pukul 12 siang. Namun demikian, justru pada saat penulis menginjak usia SD-lah, penulis mulai membuka rekening di bank yang sama dengan bank dimana ibu menyimpan dan melakukan transaksi keuangan.

Keinginan penulis memiliki tabungan sejak usia 7 tahun itu, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, tentu saja karena melihat teladan orangtua yang rajin menabung, dan kedua, pelayanan dari customer service atau bagian teller bank, yang jauh lebih bermutu daripada customer service jenis pelayanan umum lainnya. Performansi bank berikut pelayanannya itulah yang meninggalkan kesan mendalam di hati penulis yang saat sering berkunjung ke bank masih berusia balita atau kanak-kanak. Keramah-tamahan, busana para pegawai bank, jauh lebih berkualitas dari performa dan penampilan personil lembaga/perusahaan apapun, yang pernah penulis kunjungi semasa kecil dulu.
Dari pengalaman penulis tersebut, kebiasaan penulis menabung sejak usia dini amat dipengaruhi oleh peran orangtua dan imej performansi bank berikut personil pelayanannya. Sosok-sosok dan lembaga keuangan/perbankan tersebutlah, yang secara langsung maupun tidak amat berpengaruh terhadap motivasi penulis untuk mau menabung sejak dini. Maka, penulispun menarik sebuah asumsi, bahwa untuk mengedukasi anak-anak usia sekolah dasar agar paham dan berminat terhadap jasa-jasa perbankan, sosok-sosok maupun lembaga yang disebut sebelumnya itulah, yang memegang peranan inti dan dituntut untuk dapat mengoptimalkan peranan intinya tersebut.

Read the rest of this entry »





Bila Air dan Hutan Hilang

23 01 2009

Air adalah sumber kehidupan. Tubuh kita dan mahluk hidup lainnya sebagian besar mengandung air. Tak hanya itu, proses reproduksi homo sapiens-pun berlangsung melalui media air. Kendati jasad kita terbentuk dari saripati tanah liat, unsur terpenting yang menggerakkan syaraf motorik dan sensorik kita sangat terkait keberadaan air. Darah adalah zat cair, getah adalah zat cair, dan enzimpun merupakan bagian dari zat cair. Singkatnya, tubuh kita menjadi, terdiri, terbentuk dan dinamis karena media air. Maka demi keselarasan dan keberlangsungan hidup, kita sebagai manusia amat tergantung pada kuantitas dan kualitas air yang tersedia didalam tubuh.

Sebagaimana tubuh, alam sebagai makrokosmos dari wujud manusiapun memiliki ketergantungan yang tinggi akan keberadaan air. Naik-turunnya suhu bumi juga sangat tergantung kepada kuantitas dan kualitas air. Terutama karena fungsinya sebagai wahana kehidupan manusia, alam memerlukan kualitas dan kuantitas air yang cukup untuk ‘melayani’ manusia. Apakah alam menyediakannya begitu saja ? Pada mulanya memang begitu. Air sudah tersedia, dicurahkan melalui hujan, dan ditampung oleh tanah. Ketika bumi masih hijau, hutan masih rimbun, penduduk masih jarang, persediaan air tanahpun lebih dari mencukupi. Disaat bumi semakin sempit karena lonjakan kelahiran, disaat ia mengalami polusi karena pertumbuhan industri yang mengesampingkan lingkungan, soal kualitas dan kuantitas air menuntut tanggung-jawab lebih dari seluruh umat manusia yang bertinggal di muka bumi.

Dalam siaran pers Yayasan Merah Putih (22 Maret 2008) memperingati Hari Air Sedunia 2008 disebutkan : sekitar 2,7 miliar penduduk bumi saat ini kehilangan akses air bersih. Dari jumlah sebanyak itu, sebagian besar bertinggal di negara-negara berkembang dan negara-negara miskin terbelakang. Indonesia merupakan salah satu negara berkembang, yang banyak dari penduduknya tak memiliki akses sanitasi yang layak, sehingga untuk kegiatan MCK (mandi-cuci-kakus) sekalipun, banyak diantaranya yang terpaksa memanfaatkan air yang telah tercemar. Berdasarkan dokumen Millenium Development Goal’s (MDG) tahun 2007, lembaga pemerhati masalah-masalah negara-negara berkembang, UNDP, melaporkan pada PBB bahwasanya, ada 72,5 juta penduduk Indonesia yang sama sekali tak punya akses air bersih sebagai penunjang kegiatan primer (masak, minum dan MCK). Memang ada diantaranya yang mendapat pasokan air dari Perusahaan Air Minum/Perusahaan Daerah Air Minum (PAM/PDAM). Namun, di daerah perkotaan, air tanah sendiri telah tercemari limbah industri. Adapun di pedesaan, hulu sungai yang rusak sebab penghancuran lingkungan, membuat sungai menyusut kuantitas maupun kualitas airnya.

Read the rest of this entry »





Hutan Sebagai Tanda Eksistensi Tuhan

23 01 2009

Sebuah Pesimisme Tentang Hutan Kita
Sekitar empat tahun lalu, tepatnya tanggal 20 Desember 2004, penulis menghadiri penyematan penghargaan kepada Ghefira Nur Fatimah, penulis buku “Jalan-jalan Ke Hutan.”dari Jaya Suprana, pimpinan Museum Rekor Indonesia (MURI). Gadis cilik putri ulama kondang, KH Abdullah Gymnastiar itu dinobatkan sebagai penulis buku termuda dalam sejarah dunia penerbitan Indonesia. Beberapa wartawan media cetak tampak sibuk mengambil gambar senyum gadis cilik Ghefira, berdiri disisi Ayahnya yang bangga, sewaktu menerima penobatan suprematif itu.

“Jalan-jalan Ke Hutan” adalah buku kumpulan cerita pendek yang dengan bersahaja mencoba bercerita kepada kita, tentang kesan seorang anak terhadap alam, pengetahuan pertamanya atas relasi antara alam dengan Sang Pencipta, serta relasi alam dengan mahluk yang berdiam didalamnya. Keaslian hutan yang ‘perawan’, lengkungan sungai yang berkilat oleh sorot matahari, satwa-satwa berkarakter khas, dideskripsikan begitu rupa dalam teks-teks sederhana dalam kumpulan cerpen tersebut. Para pembacanya sedikit banyak akan memahfumi : penulis cilik ini terlibat begitu intens dengan pengalaman-pengalaman yang direkamnya melalui tulisan, pada lembar demi lembar halaman buku antologinya.

Pengalaman Ghefira dalam buku yang ia tulis, bisa jadi merefleksikan rata-rata kesan anak-anak segenerasinya terhadap alam. Bahkan, mungkin serupa juga dengan rata-rata kesan kita yang terpaut jauh dari usia mereka. Bukankah kebanyakan kita pernah merasai udara segar pegunungan, hangat mentari pedesaan, atau teduhnya pepohonan di hutan ? Atau mungkin juga kita pernah terhanyut oleh bunyi gesek ranting-dedaunan, sewaktu sepoi angin menghembuskan rumpunan dan batang-batang bambu.

Kesan Ghefira dan anak-anak segenerasinya terhadap keasrian alam, kesan kita atas keaslian dan kemurnian hutan, bisa saja tak akan pernah menjadi milik generasi mendatang. Kendati Indonesia memiliki hutan hujan tropika terluas ke-3 setelah Brasil dan Zaire, meskipun hutan hujan tropika dunia 10 persen-nya melintang sepanjang garis khatulistiwa kita, namun fakta menunjukkan bahwa hutan hujan kita kini berangsur-angsur punah. Setelah hektaran pohon ditumbangkan, ketika bermacam species hewan dibiarkan musnah atau dimusnahkan, bukan tidak mungkin kelak hutan akan tinggal hanya sebagai kenangan.

Read the rest of this entry »





Indikasi Pudarnya Perhatian Sang Khaliq

23 01 2009

Ketika kesibukan dalam rutinitas kerja semakin meningkat, adakalanya saya berpikir untuk mempersingkat shalat. Disaat saya mulai mengabaikan shalat berjamaah, disaat itu pula saya makin memperpendek durasi ibadah wajib tersebut. Dengan shalat sendirian atau munfarid, saya bisa bebas memilih surat pendek, sehingga lebih cepat juga menyelesaikan shalat. Selesai shalat sendiri, pada awalnya saya masih mendawamkan dzikir-dzikir yang disunahkan. Lama-kelamaan saya mulai meninggalkan wirid usai shalat wajib, dengan pikiran toh itu semua adalah sunah, sementara pekerjaan rutin telah menunggu untuk diselesaikan.

Berkurangnya intensitas dan durasi ibadah di siang hari, kemudian berbanding lurus dengan intensitas dan durasi ibadah di malam hari. Badan yang lelah, pikiran yang penat, membuat saya memilih untuk shalat munfarid, daripada beranjak menyambut panggilan adzan. Lama-lama kebiasaan shalat munfarid itu merembet pada kebiasaan mengakhirkan shalat. Ketika kelelahan luar biasa menyergap saya usai shalat maghrib, adakalanya saya melewatkan shalat isya’ awal waktu, dan mulai terbiasa menunaikan shalat penutup malam itu pada pukul setengah tiga dinihari. Mata yang masih berat usai menunaikan shalat isya’ dinihari itu, kemudian membujuk saya kembali ke peraduan (tanpa shalat malam) sampai pukul setengah enam pagi. Masya Allah. Saya kemudian malah biasa menunaikan subuh disaat sinar matahari sudah berwarna kuning matang.

Berbulan-bulan lamanya saya menjalani rutinitas ibadah wajib, sebagai sesuatu yang sekunder. Sehingga kemudian dalam suatu pengajian ahad di kompleks tempat saya tinggal, saya mendengar petuah : “…pudarnya perhatian Allah bisa dilihat pada diri kita sendiri, ditandai dengan mulai malas dan kerap melakukan maksiat.” Petuah tersebut membuat mata saya berkaca-kaca, dada saya serasa sesak, menginsyafi terbuangnya detik demi detik berharga dalam keseharian saya selama ini.

Read the rest of this entry »





Membuka Simpul Prasangka

23 01 2009

Terkadang, sebelum pergi mengajar di kelas baru, saya berandai-andai sesuatu yang buruk bakal terjadi. Misalnya, ada murid yang ribut sampai-sampai seluruh kelas tertular ulahnya, atau saya takut tidak bisa menjawab pertanyaan yang diajukan oleh murid. Begitulah ketakutan saya, sebagai seorang pengajar.

Pernah juga saya dipaksa menemani seorang kawan berkunjung ke rumah calon istrinya, lantaran ia takut dan malu berhadapan langsung pertamakali dengan orangtua sang gadis idaman. Ia takut ditanya masalah pekerjaan, lalu takut pekerjaannya itu kurang disukai orangtua sang calon istri, hingga ujung-ujungnya tidak diberi restu menikahi anaknya.

Kenyataan yang dialami oleh saya dan kawan saya tersebut, ternyata berbeda jauh dengan persangkaan kami. Setiap mengajar di kelas baru, saya justru malah mendapatkan gairah baru, dikarenakan murid-murid sudah menunjukkan antusiasme yang tinggi ketika saya memperkenalkan diri. Setelah perkenalan, saya bisa masuk ke materi, walaupun kadangkala ada juga beberapa murid yang sempat bercakap-cakap sesamanya, atau saling melempar senyum. Saya memilih untuk menerima perbuatan-perbuatan wajar itu. Saya memakluminya, mencoba berprasangka baik, atau menghibur diri sendiri : toh saya juga pernah melakukan hal-hal tersebut ketika sekolah atau kuliah dulu.

Read the rest of this entry »





Akibat Memelihara Kebencian dan Permusuhan

23 01 2009

Saat-saat yang paling melelahkan dan menguras energi pikiran dan perasaan dalam keluarga adalah disaat kita memelihara rasa benci akibat kejadian masa lalu. Saya pernah memiliki perasaan demikian, kepada salah satu anggota keluarga yang kerap berbuat onar selagi saya duduk di sekolah dasar dulu, yaitu : paman dari pihak bapak. Paman saya, anak bungsu kakek, semasa dia remaja kerap mendatangi rumah kakak-kakaknya untuk meminta uang. Terkadang dia datang sambil membawa bayonet sekuriti, seolah-olah untuk mengancam kakak-kakaknya agar memenuhi permintaannya. Kejadian tersebut berulang terus hingga saya duduk di kelas 1 SMA. Sebagai remaja saya tidak sanggup menahan lagi emosi yang sudah saya pendam sekian lama. Sehingga, pada suatu kesempatan saya tantang dia berhadap-hadapan untuk berkelahi secara jantan. Paman terkejut, memilih untuk pergi, bahkan untuk bertahun-tahun lamanya ia menghilang sama sekali dari keluarga saya dan keluarga kakak-kakaknya yang lain.

Setelah sekian lama menghilang, pada suatu hari lebaran, dia datang lagi ke rumah saya dengan niat bersilaturrahim. Saya memilih untuk berkeras hati, tidak memaafkan beliau, meskipun saya dibujuk oleh Bapak dan Paman-Bibi lainnya agar kembali merajut tali kekeluargaan yang sebelumnya terputus. Semenjak itu, setiap ada acara keluarga saya enggan untuk datang, jikalau saya mendengar paman paling kecil dari keluarga Bapak itu akan datang juga dalam acara tersebut. Kalaupun datang, saya merasa tak enak hati dan tidak nyaman, mengingat saya benci setengah mati atas ulah paman di masa-masa yang telah lewat.

Lama-kelamaan, kebencian saya itu malah membuat saya jarang bersilaturrahim dengan kaum kerabat, hingga kemudian saya merasa terasingkan sama sekali. Saya jadi tidak bisa menikmati halal bil halal di hari raya, kurang enak kumpul-kumpul bakar sate lebaran haji, atau bebas bercengkerama dalam acara arisan keluarga. Padahal, penyebabnya adalah hanya tidak suka melihat keberadaan paman bungsu dalam acara-acara tersebut.

Read the rest of this entry »