Akibat Memelihara Kebencian dan Permusuhan

23 01 2009

Saat-saat yang paling melelahkan dan menguras energi pikiran dan perasaan dalam keluarga adalah disaat kita memelihara rasa benci akibat kejadian masa lalu. Saya pernah memiliki perasaan demikian, kepada salah satu anggota keluarga yang kerap berbuat onar selagi saya duduk di sekolah dasar dulu, yaitu : paman dari pihak bapak. Paman saya, anak bungsu kakek, semasa dia remaja kerap mendatangi rumah kakak-kakaknya untuk meminta uang. Terkadang dia datang sambil membawa bayonet sekuriti, seolah-olah untuk mengancam kakak-kakaknya agar memenuhi permintaannya. Kejadian tersebut berulang terus hingga saya duduk di kelas 1 SMA. Sebagai remaja saya tidak sanggup menahan lagi emosi yang sudah saya pendam sekian lama. Sehingga, pada suatu kesempatan saya tantang dia berhadap-hadapan untuk berkelahi secara jantan. Paman terkejut, memilih untuk pergi, bahkan untuk bertahun-tahun lamanya ia menghilang sama sekali dari keluarga saya dan keluarga kakak-kakaknya yang lain.

Setelah sekian lama menghilang, pada suatu hari lebaran, dia datang lagi ke rumah saya dengan niat bersilaturrahim. Saya memilih untuk berkeras hati, tidak memaafkan beliau, meskipun saya dibujuk oleh Bapak dan Paman-Bibi lainnya agar kembali merajut tali kekeluargaan yang sebelumnya terputus. Semenjak itu, setiap ada acara keluarga saya enggan untuk datang, jikalau saya mendengar paman paling kecil dari keluarga Bapak itu akan datang juga dalam acara tersebut. Kalaupun datang, saya merasa tak enak hati dan tidak nyaman, mengingat saya benci setengah mati atas ulah paman di masa-masa yang telah lewat.

Lama-kelamaan, kebencian saya itu malah membuat saya jarang bersilaturrahim dengan kaum kerabat, hingga kemudian saya merasa terasingkan sama sekali. Saya jadi tidak bisa menikmati halal bil halal di hari raya, kurang enak kumpul-kumpul bakar sate lebaran haji, atau bebas bercengkerama dalam acara arisan keluarga. Padahal, penyebabnya adalah hanya tidak suka melihat keberadaan paman bungsu dalam acara-acara tersebut.

Setelah menimbang-nimbang, ketika rasa keterasingan ditengah-tengah keluarga itu semakin memuncak dan menekan batin, sayapun kemudian memutuskan untuk membuang jauh-jauh perasaan dendam dan benci dari hati ini. Saya buka diri saya, saya buat sebuah rencana, untuk menetralisir hubungan saya dengan sang paman, yang sebenarnya sudah berusaha untuk tobat dan kembali membaur dengan keluarga. Seperti sebuah kebetulan, tak lama setelah saya meniatkan untuk memupus segala dendam, keluarga paman bungsu mengirim kabar kepada Ibu bahwa mereka akan melangsungkan hajat pernikahan, untuk anak tertuanya. Inilah kesempatan emas bagi saya, untuk menunjukkan bahwa saya tidak lagi mendendam kepada paman. Maka, saat rapat pernikahan dilangsungkan, saya ikut menghadirinya dan sebelum itu sempat juga saya memohon maaf kepada paman. Subhaanallaah. Paman begitu senang dijabat tangannya, dipeluk bahunya oleh saya, dan malah dia sendiri yang lebih dulu mengajukan permohonan maaf atas tingkah-lakunya di masa-masa yang sudah lewat. Tidak sedikit yang meneteskan airmata melihat saya, yang menurut paman : body guard adik-adik, bersedia memberi maaf kepada pamannya yang bergajul.
Semenjak saat itu, keluarga besar Bapak semakin erat saja kebersamaannya. Sayapun bisa terbebas dari rasa canggung atau ketidaknyamanan, saat berbaur dalam acara keluarga. Disitulah sebuah hikmah dari memaafkan dan dimaafkan, terbetik didalam hati ini. Membuat saya menyadari, bahwasanya dendam dan memelihara permusuhan itu seringkali membuat seseorang yang tadinya tidak bersalah, bisa menjadi merasa bersalah, sebagaimana diri saya yang sempat menjaga jarak sedemikian ekstrem dalam silaturrahim keluarga.


Actions

Information

Leave a comment