Dalam seminar bertajuk “Konferensi Menuju Indonesia Bebas Korupsi” di Universitas Indonesia beberapa tahun lampau, Prof. Emil Salim menyitir satu pengertian korupsi. ”Korupsi adalah perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.”demikian bunyi definisi termaksud. Pada definisi yang disempurnakan dalam kredo Bank Pembangunan Asia dari konsep Transparency International, sebuah LSM yang meliputi 60 negara dan mengkhususkan diri pada usaha pemberantasan korupsi di dunia itu, terkandung beberapa pengertian pokok. Pertama, pengertian pokok dari definisi tersebut yalah bahwasanya mereka yang terlibat korupsi terdapat dikalangan pemerintah (birokrat), swasta (pengusaha), lembaga politik (politisi). Dua, mereka yang tercantum dalam butir pertama berupaya memperkaya diri sendiri, memperkaya orang-orang yang ’dekat’ dengan mereka, atau merangsang orang lain untuk memperkaya diri. Memperkaya diri dalam pokok kedua ini, selain bisa berarti menumpuk harta, bisa juga berarti memupuk kekuasaan. Tiga, pokok yang terkandung dalam definisi korupsi dari konsep Transparency International adalah ketidakwajaran dan ketidaklegalan cara yang dipakai, misalnya dengan penyalahgunaan kedudukan oleh mereka-mereka yang termaksud dalam pokok pertama.
Sesuai kedudukan pelaku korupsi, nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa bernominal kecil, dapat juga bernilai besar. Jika uang atau barang yang diberikan hanya sekedar bermakna “persenan”, yang diberikan ikhlas dengan bahasa ”tanda terima kasih”, maka uang/barang tersebut, menurut Prof. Emil Salim termasuk jenis ”Smiling Money”. Jika uang/barang yang terlibat ternyata disediakan atas dasar keterpaksaan- demi memenuhi prasyarat pelayanan, Prof. Emil Salim menggolongkan jenis uang atau barang tersebut sebagai ”Crying Money.” Dalam kasus Crying Money terdapat pihak penerima suap, yang memaksa pemberi suap atau calon pemberi suap agar menyerahkan sebentuk ‘upeti’, bagi kelancaran birokrasi. Bagi pihak penerima suap, baik suap berupa uang/barang dalam kasus Crying Money, faktor pembiayaan pekerjaan atau proyek akan terpecah kedalam tiga aspek perhitungan : perhitungan jangka pendek, jangka panjang, dan menurut kelakaran sunda- perhitungan ”jang-ka imah.” Secara etimologis ”jang-ka imah” dalam bahasa Indonesia memiliki arti : untuk ke rumah. Dalam sebuah Studium Generale yang pernah saya ikuti, seorang rekan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pernah membuat plesetan untuk kasus praktek Crying Money tersebut. Rekan mahasiswa itu memelesetkan akronim UUDP dan UYHD sebagai : ”uang untuk dibawa pulang” dan ”uang yang harus dibawa pulang.”