Potensi Ultrapreneurship Umat Islam

15 09 2009

oleh Abang Eddy Adriansyah (Republika)

Kecepatan informasi membuat dunia seakan menciut. Peristiwa di salah satu belahan bumi dapat segera diketahui oleh orang di belahan bumi lainnya dalam hitungan detik saja. Pola-pola standar dalam lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya memerlukan modifikasi agar adaptif terhadap ekses daripada perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat. Teknologi informasi dengan tingkat akselerasi yang tinggi, memegang peran sebagai source of changes yang menimbulkan kegairahan baru di dunia usaha. Saat ini, pasar tengah berevolusi dari bentuk marketplace menuju bentuk marketspace. Dalam bentuk marketspace, pertemuan antara pembeli dan penjual telah meninggalkan banyak cara-cara tradisional yang mengharuskan kedua pihak bertemu di suatu tempat. Fenomena yang dikemukakan ahli pemasaran Hermawan Kertajaya ini, timbul karena cyber technology berkembang dengan percepatan yang mengagumkan. Tak pelak lagi, inti daripada percepatan dalam dunia usaha di waktu sekarang adalah akses yang cepat dan reflek yang tanggap terhadap informasi.

Era keterbukaan informasi membuka peluang yang luas bagi para entrepreneur atau wirausahawan untuk melakukan strategic alliance (persekutuan strategis) dan outsourcing strategy, tanpa harus mengesampingkan kreativitas dan jati dirinya. Para entrepreneur itupun diharapkan pula mampu melakukan benchmarking yang synergistic. Sinergisitas ini diupayakan untuk optimal membesarkan, serta memberikan manfaat lebih bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat. Prinsip mutualisme selayaknya dikedepankan disini. Pola kompetisi murni yang sebelum era globalisasi ini banyak dianut, telah melahirkan pemenang dan pecundang. Pola tersebut berkontribusi dalam menciptakan sekat-sekat penutup bagi pertukaran informasi di antara perusahaan-perusahaan. Cara tersebut tidak tepat lagi untuk menggagas pertumbuhan dan kesinambungan usaha pada saat sekarang. Di era ini, keterpurukan yang menimpa satu pihak, akan membawa dampak negatif pula terhadap pihak lainnya. Untuk itulah diperlukan entrepreneur plus yang dapat melakukan strategic alliance, outsourcing strategy dan benchmarking yang synergistic tersebut, hingga tercipta dinamika usaha yang harmonis antar perusahaan-perusahaan yang terlibat. Ahli kewirausahaan, Thoby Mutis, menyebut para entrepreneur dengan kehandalan lebih itu dengan sebutan ultrapreneur.

Umat Islam Indonesia memiliki potensi besar untuk melahirkan para ultrapreneur, dengan potensi kuantitatif sebagai mayoritas di Indonesia. Sebagai contoh, apabila persekutuan strategis tercetus di kalangan para entrepreneur dengan komitmen penegakan ekonomi syari’ah yang dilandasi oleh pertumbuhan, kontinuitas, dan keberkahan, maka dampaknya akan luas sekali, serta mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif secara nasional. Tanpa menutup kemungkinan persekutuan strategis, outsourcing strategic dan benchmarking dengan entrepreneur dari kalangan non-muslim, para ultrapreneur tersebut akan berperan luas dalam pemulihan ekonomi Indonesia, bahkan membawa kegairahan yang kondusif di wilayah regional maupun internasional. Selain itu, dengan landasan tiga fokus utama ekonomi syari’ah yang diungkapkan sebelumnya, maka aktivitas tersebut Insya Alloh akan berfungsi pula sebagai dakwah bil-lisan.

Umat Islam Indonesia menyimpan pula potensi kualitatif dalam mendorong terlahirnya para ultrapreneur. Hal tersebut diindikasikan oleh kegairahan kalangan santri maupun intelektual muda muslim untuk ikut berperan aktif mengembangkan sistem perekonomian syari’ah. Kegairahan itu disertai pula oleh ketertarikan mereka untuk mulai mempelajari konsep muamalah yang dipraktekkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya secara lebih intensif. Selanjutnya, kemauan keras untuk mempelajari konsep muamalah tersebut, selayaknya diikuti pula oleh penerapan yang tepat dalam setiap aktivitas kewirausahaan. Dengan begitu, kesempurnaan konsep yang memegang prinsip adil, transparan, dan saling menguntungkan ini, secara optimal dapat dirasakan manfaatnya secara pribadi, hingga para santri dan intelektual muda ini matang sebagai entrepreneur dan siap menjadi seorang ultrapreneur yang akan memperkenalkan pula konsep perekonomian syari’ah melalui proses strategic alliances, outsourcing strategy, dan benchmarking yang synergistic tadi.

Tidak terdapat halangan bagi entrepreneur yang memegang prinsip ekonomi syari’ah untuk melakukan benchmarking dengan kalangan manapun. Prof. Thoby Mutis telah menjelaskan bahwa dasar daripada benchmarking adalah adanya keterbukaan informasi, kesediaan saling menukar informasi, perbandingan kinerja, dialog kerja dan saling mempelajari keunggulan. Dari penjelasan tersebut, inti dari benchmarking sendiri adalah kepercayaan, sesuatu yang dikedepankan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya dalam bermuamalah. Sehingga secara prinsip, tidak ada hal yang menghambat seorang entrepreneur muslim untuk mampu melakukan benchmarking yang sinergis, dan berhak mencapai derajat ultrapreneur atas dedikasinya dalam usaha.(red/aburashif)





Hakikat Ikhtiar Di Bulan Suci

4 09 2009

Adakah sore, malam, atau dinihari yang lebih ramai daripada sore, malam dan diniharinya bulan ramadhan ?

Bagi penulis, buat mereka yang bertinggal di negara-negara dengan mayoritas Islam, tentu saja tak ada sore, malam atau dinihari yang semeriah sore, malam, diniharinya bulan ramadhan.

Sore, umumnya kita berkeliaran ngabuburit atau luru sore, sekadar menunggu maghrib. Malam, kita berbuka bersama lantas melewatkan malam dengan tarawih. Dan dinihari, yang sunyi senyap di bulan-bulan lainnya, justru menjadi saat yang begitu hidup di bulan Ramadhan. Sebagian kita melakukan tradisi gerebeg sahur di waktu tersebut- ada yang ramai-ramai berkeliling kampung untuk membangunkan warga ; ada juga yang sekadar berkoar-koar dari corong masjid, lengkap dengan sirene atau suara-suara apa pun untuk membangunkan warga sekitar.

Tak pelak, kemeriahan itu ikut berdampak pula pada dinamika kegiatan perekonomian suatu negeri. Orang-orang lebih giat berbisnis dan bekerja di bulan ramadhan. Ramadhan di Indonesia dan negara dengan penduduk mayoritas Islam biasanya sering dihubungkan dengan melejitnya daya beli dan meningkatnya perilaku konsumtif masyarakat terhadap barang ataupun jasa.

Di Indonesia, selain dipengaruhi oleh upaya keras dalam bisnis, melejitnya daya beli tergantung pada jumlah Tunjangan Hari Raya (THR) yang biasa dialokasikan pemerintah/perusahaan swasta bagi para pegawai. Peningkatan daya beli kemudian terjadi hampir dalam semua sektor, mulai urusan sandang, pangan, transportasi dan pariwisata. Akibatnya, tingkat inflasi pun mencapai titik tertinggi pada bulan ini, disebabkan oleh begitu konsumtifnya masyarakat terhadap barang/jasa.

Dalam artikel di surat kabar Republika, Ekonomi Ramadhan, yang ditulis oleh Muhammad Syafi`i Antonio, fenomena di atas dicirikan dengan menjamurnya para pedagang musiman yang menjajakan berbagai komoditas mulai dari makanan hingga pakaian, di ruang-ruang publik terutama di pinggir jalan. Belum lagi, maraknya penyelenggaraan bazaar baik yang disponsori oleh pemerintah, swasta, organisasi maupun lembaga swadaya masyarakat tertentu.

Ikhtiar keras dalam memeriahkan ramadhan itu kemudian sering membuat sebagian kita terlena. Menjadi lalai atau lupa akan tujuan daripada shaum, tarawih atau tadarrus yang disunahkan Nabi SAW. Menjadi lupa, bahwa di bulan yang penuh keutamaan ini, ada momen nuzulul qur`an dan lailatul qadr- dua momen yang menjanjikan puncak kenikmatan beribadah, yang hanya bisa disentuh melalui penghayatan dan ruhaniah yang bersih. Titik inilah yang sering tak mampu kita capai, sebab memang pribadi lebih cenderung pada sekadar pemenuhan hasrat jasmaniah daripada memenuhi bisikan ruhaniah.

Ramadhan datang dan pergi silih berganti. Tapi kita tak pernah beranjak, dari kualitas Islam menjadi iman, dari kualitas iman menjadi ihsan, sebab kecenderungan ikhtiar kita memeriahkan ramadhan, yang masih cenderung disemangati oleh hasrat jasmaniah daripada fitrah ruhaniah.

***
Dalam sebuah pembekalan di bulan sya`ban lalu, kyai pengasuh sebuah pesantren tradisional yang berlokasi dekat rumah penulis menyampaikan, kunci sukses Ramadhan adalah kesanggupan seluruh indera kita dalam mengendalikan hasrat jasmaniah. Jasmani itu cenderung pada pemuasan keinginan, sementara ruhaniah itu cenderung pada pemenuhan kebutuhan.

Salah satu cara untuk menyeimbangkan dan mengendalikan hasrat jasmaniah dan ruhaniah sebagaimana pemaparan di atas adalah : kita bekerja dengan niat memenuhi kebutuhan sekaligus meningkatkan nilai ibadah, lewat peningkatan kualitas ibadah mahdhah dan ghayr mahdhah. Entah dia seorang pegawai, profesional atau pedagang, hendaknya ikhtiar keras yang dilakukan dalam bulan Ramadhan ini, selain untuk menafkahi diri dan keluarganya, juga diniatkan agar bisa beribadah lebih tenang, atau bersedekah lebih banyak dan konsisten daripada bulan-bulan sebelumnya.

Pada hakikatnya setiap ikhtiar keras itu ditunaikan, agar hajat hidup tercukupi dan kebutuhan jasmaniah terpenuhi. Tercukupinya hajat hidup dan kebutuhan jasmaniah disebabkan ikhtiar keras dan jujur itu akan membuat kita tenang dan leluasa, dalam beribadah kepada Allah SWT. Inilah hakikat daripada ikhtiar demi kebaikan dunia dan akhirat. Sesuatu yang sering kita mohonkan dalam do`a sapu jagat : “Rabbana aatinaa fid-dunya hasanah, wa fil aakhiirati hasanah,…dst”- dan proses pembelajarannya dilakukan serta menjiwai setiap rangkaian ibadah dalam kemeriahan bulan Ramadhan, setiap tahunnya.

Cara pandang terhadap upaya atau ikhtiar yang dipaparkan sebelumnyalah yang hendaknya menjadi framing bagi kita, dalam memeriahkan bulan-bulan selain atau setelah Ramadhan. Bisnis kita bukan sekadar mengejar laba dan memperkaya diri, tetapi ditujukan untuk membuat diri dan keluarga tenang menjalani hidup dalam naungan rutinitas ibadah dan taat kepada Allah, sebab hasil usaha yang berkah dan ikhtiar yang penuh semangat. Wallahu a`lam bish shawab.

***





Kondomisasi Bukan Solusi

11 02 2009

Sungguh janggal, ketika kita berbicara soal penumpasan HIV/AIDS, tanpa berbicara soal pengentasan free sex. Pandangan itu kurang lebih sama, dengan dasar pemikiran dari kritik yang dilontarkan Wapres Jusuf Kalla, terhadap kampanye aktivis HIV/AIDS yang lagi-lagi mensosialisasikan penggunaan kondom. Secara teknis, penggunaan kondom mungkin bisa meminimalisir resiko masuknya virus lewat hubungan seksual. Tapi perlu diingat, bahwa maraknya penggunaan kondom secara bebas, bisa pula memicu maraknya aktivitas seks bebas. Padahal, bila kita berpikir linear, maka maraknya free sex berarti terbukanya peluang bagi penyebaran virus HIV, dengan jangkauan yang lebih luas.
Kondomisasi yang dilakukan di negara-negara barat dalam perang terhadap AIDS tampaknya kurang relevan bila diterapkan di Indonesia, mengingat perbedaan kebiasaan dan budaya yang cukup signifikan diantara keduanya. Dalam urusan seksual barat berpijak kepada teori psikoanalisa Freud, sementara kita menganut cara-cara penyaluran hasrat seksual yang dipandu oleh nilai-nilai religius.
Menurut Freud, hasrat seksual boleh disalurkan kapan saja, kepada siapa saja, tak penting dia sudah menikah atau belum, mengingat seks merupakan kebutuhan yang secara naluriah menuntut dipenuhi secara segera. Terhadap masyarakat yang demikian, kondom bisa menjadi solusi, mengingat pengereman kebiasaan free-sex tersebut harus diminimalisir dengan cara paling cepat dan darurat. Seks sudah menjadi begitu mekanik, bukan sesuatu yang sifatnya sakral seperti dalam masyarakat kita, sehingga penggunaan kondom menjadi begitu penting dan urgensial dalam pengeliminasian bahaya virus HIV/AIDS pada masyarakat barat.
Dalam masyarakat kita yang dipandu nilai-nilai religi serta budaya timur, hubungan seks pra-nikah adalah tabu, dan hasrat penyalurannya bagi yang belum menikah dianjurkan diredam dengan puasa. Kalau dalam masyarakat barat kondom digunakan untuk mencegah kehamilan, digunakan demi kepentingan keamanan ketika melakukan hubungan kelamin secara bebas, maka dalam masyarakat islam kondom utamanya berfungsi sebagai alat pengatur jarak kehamilan. Jelasnya, kondom digunakan sebagai alat kontrasepsi untuk mengatur jarak kehamilan pada ibu hamil yang telah menikah, alat safety dalam hubungan seks ketika salah satu pasangan menderita infeksi genital tertentu, tapi ada juga sebagian yang mengharamkan dengan argumen : pernikahan adalah sarana pelestarian keturunan, sementara kondom justru mencegah kehamilan, yang sama artinya dengan menghalangi proses pelestarian tersebut.
Istilah kondomisasipun, tanpa maksud melecehkan pemahaman sebagian kalangan, bukanlah istilah yang mudah dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat. Daripada kondomisasi, penjelasan soal bahaya seks bebaslah yang justru harus lebih banyak mencuat. Sehingga, kalangan yang beresiko terkena AIDS tidak menganggap bahwa, bukan karena hubungan seksnya seseorang bisa tertular, melainkan karena tidak menggunakan kondom.
Selain menampik isyu kondomisasi, menggantikannya dengan program rutin penyuluhan mengenai bahaya serta proses inkubasi virus HIV/AIDS serta penggalakan aktivitas ruhaniah, pemerintah perlu mengambil langkah nyata untuk memutus akses para pelaku seks bebas dan pecandu narkotik, sebagai kalangan yang rentan tertular virus HIV/AIDS, terhadap segala tempat maupun wadah yang memungkinkan terjadinya penyimpangan. Mau tak mau, perang terhadap AIDS berarti juga peninjauan ulang terhadap kebijakan lokalisasi kawasan seks komersial, serta pengawasan penuh departemen terkait, terhadap wadah atau organisasi yang selama ini menjadi penyalur aspirasi, atau wadah yang melegalkan perilaku penyimpangan seksual. Mengapa lokalisasi dan wadah ekpresi menyimpang itu dilegalkan, sementara kita sama-sama tahu, bahwasanya dari akses-akses dan komunitas tersebutlah penyakit AIDS lazimnya berasal ?





Crying Money

28 01 2009

Dalam seminar bertajuk “Konferensi Menuju Indonesia Bebas Korupsi” di Universitas Indonesia beberapa tahun lampau, Prof. Emil Salim menyitir satu pengertian korupsi. ”Korupsi adalah perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain berbuat serupa dengan menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.”demikian bunyi definisi termaksud. Pada definisi yang disempurnakan dalam kredo Bank Pembangunan Asia dari konsep Transparency International, sebuah LSM yang meliputi 60 negara dan mengkhususkan diri pada usaha pemberantasan korupsi di dunia itu, terkandung beberapa pengertian pokok. Pertama, pengertian pokok dari definisi tersebut yalah bahwasanya mereka yang terlibat korupsi terdapat dikalangan pemerintah (birokrat), swasta (pengusaha), lembaga politik (politisi). Dua, mereka yang tercantum dalam butir pertama berupaya memperkaya diri sendiri, memperkaya orang-orang yang ’dekat’ dengan mereka, atau merangsang orang lain untuk memperkaya diri. Memperkaya diri dalam pokok kedua ini, selain bisa berarti menumpuk harta, bisa juga berarti memupuk kekuasaan. Tiga, pokok yang terkandung dalam definisi korupsi dari konsep Transparency International adalah ketidakwajaran dan ketidaklegalan cara yang dipakai, misalnya dengan penyalahgunaan kedudukan oleh mereka-mereka yang termaksud dalam pokok pertama.

Sesuai kedudukan pelaku korupsi, nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa bernominal kecil, dapat juga bernilai besar. Jika uang atau barang yang diberikan hanya sekedar bermakna “persenan”, yang diberikan ikhlas dengan bahasa ”tanda terima kasih”, maka uang/barang tersebut, menurut Prof. Emil Salim termasuk jenis ”Smiling Money”. Jika uang/barang yang terlibat ternyata disediakan atas dasar keterpaksaan- demi memenuhi prasyarat pelayanan, Prof. Emil Salim menggolongkan jenis uang atau barang tersebut sebagai ”Crying Money.” Dalam kasus Crying Money terdapat pihak penerima suap, yang memaksa pemberi suap atau calon pemberi suap agar menyerahkan sebentuk ‘upeti’, bagi kelancaran birokrasi. Bagi pihak penerima suap, baik suap berupa uang/barang dalam kasus Crying Money, faktor pembiayaan pekerjaan atau proyek akan terpecah kedalam tiga aspek perhitungan : perhitungan jangka pendek, jangka panjang, dan menurut kelakaran sunda- perhitungan ”jang-ka imah.” Secara etimologis ”jang-ka imah” dalam bahasa Indonesia memiliki arti : untuk ke rumah. Dalam sebuah Studium Generale yang pernah saya ikuti, seorang rekan mahasiswa dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) pernah membuat plesetan untuk kasus praktek Crying Money tersebut. Rekan mahasiswa itu memelesetkan akronim UUDP dan UYHD sebagai : ”uang untuk dibawa pulang” dan ”uang yang harus dibawa pulang.”

Read the rest of this entry »





Tiada Damai Tanpa Rahmat

28 01 2009

Allah menciptakan manusia untuk menjadi khalifah fil ‘ardh atau khalifah di muka bumi (Q.S. 2 : 30). Manusia diperintahkan untuk mengelola alam yang fana ini, semata-mata untuk beribadah kepada-Nya (Q.S. 51 : 56), selain demi kemaslahatan alam dan umat manusia sendiri. Begitu besar kepercayaan Allah terhadap mahluknya yang bernama manusia. Bahkan malaikat yang tak lepas dari ibadah dan taat, bahkan iblis yang telah Dia ciptakan dari api membara, tak pernah sempat mengemban amanah sebesar itu. Bukan malaikat atau iblis, tapi manusialah yang diperintahkan Allah untuk menjadi penebar rahmat bagi sekalian alam.
Nabi Muhammad SAW diutus Allah tak lain untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam (Q.S. 21 : 107). Kita sebagai umatnya perlu mengikut contoh perilaku, ucapan dan perangai beliau, sebab Allah sendiri telah berfirman : “Sesungguhnya pada (diri) Rasulullah itu contoh ikutan (uswatun hasanah) yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Q.S. 33 : 21) Maka perintah Allah untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam, sekaligus berlaku pula untuk seluruh umatnya yang bersaksi : “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad itu utusan Allah.”
Tidak mudah bagi manusia untuk menjadi rahmat sekalian alam. Ada setan yang selalu menggoda untuk berbuat ingkar, sampai kesesatan itu menjadi ‘darah’, menjadi ‘daging’, dalam diri seorang anak manusia. Namun adakalanya pula manusia bersiteguh, selalu tegar dan istiqamah, mengikuti perintah dan menjauhi segala larangan Tuhannya. Dan ada diantara mereka pula yang kemudian bertobat, setelah diri berkubang dosa, sebab Allah melimpahkan hidayah setelah setan menggelincirkannya.

Read the rest of this entry »





Keluarga Sakinah Tonggak Masyarakat Madani

28 01 2009

Maqam keimanan dan ketakwaan, yang terejawantahkan dalam setiap gerak aktivitas seorang muslim adalah parameter bagi keunggulan diri. Hanya insan beriman dan bertakwalah, yang mampu melebur potensi diri untuk berbuat yang terbaik, berkarya yang bermanfaat, bagi agama, negara dan masyarakat. Proses penggemblengan insan unggulan tersebut bermula dari suatu wadah. Wadah atau organisme terkecil pembentuk masyarakat, yaitu : family atau keluarga. Family dalam Cambridge Advanced Learner’s Dictionaries berarti “a group of people who are related to each other, such as a mother, a father, and their children.” Bila diterjemahkan kedalam bahasa indonesia artinya adalah kelompok orang yang berhubungan satu sama lain, seperti ibu, ayah dan anak-anak.

Keluarga adalah tempat darimana setiap individu berasal dan dibesarkan. Karenanya, karakter keluarga banyak memengaruhi jati diri, cara-ciri seseorang dalam memandang berbagai dimensi kehidupan. Keluargalah influence utama bagi setiap pribadi. Pengalaman serta apa yang dipelajari seseorang dalam keluarga, secara tak langsung merupakan proses doktrinasi. Bagaimana seseorang mengemukakan pendapat, memilih kegiatan, berpartisipasi dalam kelompok, atau mengekspresikan sikap dimanapun ia berada, tak bisa lepas dari doktrin asal yang dianut keluarganya.
Doktrin dalam wujud nilai-nilai anutan, adalah pedoman setiap individu dalam menjalin hubungan horisontal maupun vertikal, dengan sesama manusia atau dengan Allah SWT sebagai Rabbul Áalamiin. Bila nilai yang diajarkan sarat akan hikmah kebaikan, maka produk keluarga tersebut adalah pribadi-pribadi unggulan. Unggul intelektual, unggul emosional, juga unggul spiritual. Artinya, selain cerdas dan mampu bersosialisasi dengan baik, insan unggulan berada pada tingkat keimanan dan ketakwaan yang istimewa.

Lalu, keluarga seperti apa yang mampu melahirkan pribadi-pribadi sebagaimana dipaparkan tersebut ?

Read the rest of this entry »





Warisan Pak Muby

28 01 2009

Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, penuh sesak oleh para pelayat. Siang hari tanggal 25 Mei 2005 tiga tahun lalu, jenazah Prof. DR. Mubyarto disemayamkan di aula agung universitas, sebelum diberangkatkan menuju peristirahatan terakhir : Taman Pemakaman Keluarga UGM, Sawitsari. Beberapa bulan sebelumnya, seorang guru besar di lain bidang keilmuan juga disemayamkan di Balairung UGM. Dia adalah Prof. DR. Kuntowijoyo, lelaki yang akrab dipanggil Pak Kunto, salah seorang cendekiawan muslim dan sastrawan kenamaan Asia Tenggara. Maka di tahun yang sama, telah tercatat dua kehilangan besar bagi UGM dan Indonesia, mengingat kredibilitas dua guru besarnya yang berpulang pada awal dan menjelang tengah tahun 2005 tiga tahun lalu itu.

Seperti juga Pak Kunto, Pak Muby (panggilan akrab Prof DR. Mubyarto)-pun meninggalkan warisan pemikiran yang berharga. Jika Pak Kunto dikenal luas sebagai pelopor sastra profetik, sebuah konsep sastrawi yang dibangun berlandaskan prinsip dan tradisi kerasulan, maka Pak Muby disegani banyak kaum cerdik-cendikia dalam perannya sebagai konseptor Sistem Ekonomi Pancasila, sistem yang telah melahirkan sub-ide/sistem Ekonomi Kerakyatan diawal orde reformasi. Pemikiran-pemikiran seputar Sistem Ekonomi Pancasila yang banyak beliau lontarkan pada era 80-an, serta konsep Ekonomi Kerakyatan yang digagas Pak Muby menjelang SI-MPR 1998, merupakan warisan pemikiran yang bernilai tinggi, yang patut menjadi bahan kajian tidak hanya bagi kaum ekonom, namun perlu juga ditelaah dan direnungkan luas oleh berbagai kalangan di negeri ini.

Pak Muby adalah salah satu dari ekonom UGM penggagas konsep Sistem Ekonomi Pancasila, dalam dies natalis perguruan tinggi tersebut pada tahun 1980. Dalam perayaan seperempat abad UGM itulah, pertama kalinya ide Sistem Ekonomi Pancasila diungkapkan kepada publik. Gagasan itu disampaikan mengingat pemerintahan Orde Baru mulai tampak mengadopsi ”paham ekonomi liberal” secara total, guna mengembangkan perekonomian Negeri. Sebagai koreksi atas kecenderungan tersebut, Pak Muby mengajukan semacam peringatan “teoritis”, bahwasanya ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat yang tampak relevan bagi pengembangan perekonomian nasional, sebenarnya kurang memadai bagi pemerataan serta mewujudkan keadilan sosial bagi masyarakat kita. Guna menegaskan pendiriannya itu, pernah dalam satu artikel PUSTEP-UGM, lembaga penelitian yang diketuainya sejak 2002, Pak Muby mengutip peringatan Prof. Dr. Sardjito, Rektor pertama UGM. Isi pernyataan yang dikutipnya adalah : ”….bila Taman Siswa membuka Fakultas Ekonomi, seyogianya Majelis Luhur Taman Siswa, mengajukan pertanyaan kepada dosen-dosennya, bagaimana menerapkan Pancasila dalam mata pelajaran Ekonomi. Bila pernyataan ini tidak diindahkan, bisa-bisa ide ekonomi kapitalistik merasuki mata pelajaran ekonomi di Taman Siswa.”

Guna mengatasi kecenderungan itu, ekonom-ekonom UGM dengan ’motor’ Pak Muby, membuat definisi dan penjabaran mengenai apa yang dimaksud dengan Sistem Ekonomi Pancasila beserta butir-butir Falsafah yang menjiwainya. Ekonomi Pancasila didefinisikan Pak Muby sebagai sistem ekonomi nasional Indonesia yang mengacu dan didasarkan pada etika falsafah Pancasila, yaitu :

-Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral;

-Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan emerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial;

-Semangat nasionalisme ekonomi; dalam era globalisasi mekin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri;

-Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat;

-Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalangan ekonom dalam struktur pemerintahan Orde Baru, ternyata mengabaikan peringatan dan menafikan konsep Sistem Ekonomi Pancasila yang ditawarkan Pak Muby. Para pemegang otoritas malah lebih tertarik mengembangkan sistem konglomerasi industri, seolah-olah sistem tersebut merupakan konsep ajaib yang bisa memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi secepat mungkin. Pemerintah tak lagi hirau terhadap prinsip perekonomian Indonesia yang menganut azas kekeluargaan ( UUD 45 pasal 33 ayat 3) dan berlandaskan Pancasila, yang selain mementingkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, juga mensyaratkan pemerataan pendapatan. Maka lalu terjadilah ketimpangan ekonomi. Semakin lebar jarak antara si kaya dengan si miskin. Sehingga timbul apa yang diistilahkan dengan : kesenjangan sosial.

Read the rest of this entry »





Pengalaman Nonton Film Kita

28 01 2009

Sebelum teknologi video betamax memasuki Indonesia, saya biasa menonton film di bioskop. Di Bandung, kota tempat tinggal saya, Paramount Theater, Bandung Theater, Nusantara Theater, Capitol Theater, Dallas Theater, Dian Theater, dan King’s Theater adalah bioskop-bioskop favorit warga kota. Paramount Theater dan Capitol Theater terletak di Jalan Jenderal Sudirman. Bandung Theater terletak di Jalan Jenderal Ahmad Yani. Nusantara Theater, Dallas Theater, Dian Theater, King’s Theater tersebar di Alun-alun Bandung, seputar Jalan Merdeka dan Jalan Kepatihan. Tak heran jika saya hafal rata-rata nama dan lokasi bioskop-bioskop tersebut. Ayah dan Ibu, setiap kali ada film baru untuk SEMUA UMUR atau 13 TH KEATAS, pasti mengajak saya pergi menonton. Serial SUPERMAN I sampai IV, film-film Warkop (sejak masih bernama Warkop Prambors), adalah jenis-jenis film yang habis saya tonton. Tapi dibandingkan serial-serial tersebut, dua film paling berkesan buat saya semasa kecil adalah : “Sang Guru” yang dibintangi S. Bagio dan “Ratapan Anak Tiri” yang dibintangi Faradilla Sandy. Dua film ini berkesan karena dari dua film tadi saya mengenali apa kepahitan hidup dan apa kesedihan hati. Buat anak-anak seusia saya ketika itu, kegembiraan adalah kenyataan keseharian. Tidak pernah sedih. Baru setelah menyaksikan kedua film itu saya agak mudeng : oh, begitu, ya, rasanya sedih … Dan sepulang dari bioskop-pun, saya bisa menjadi pemurung. Orangtua sampai ikut khawatir. Jangan-jangan saya sakit atau marah, sebab tak dibelikan sate ayam. Begitu sangkaan ibu saya.

Seperti rata-rata keluarga Indonesia, salah satu menu hari raya keluarga saya selain makan ketupat dan silaturrahmi adalah nonton bareng film Warkop di bioskop. Hampir kebanyakan film Warkop diluncurkan saat masa liburan panjang dan hari raya Idul Fitri. Maka tak pelak, film-film Warkop dianugerahi Piala Antemas, satu penghargaan untuk film yang paling banyak ditonton orang.

Celotehan Kasino, mimik wajah Indro, dan objek penderita yang diperankan Dono merupakan daya tarik tersendiri dari film-film Warkop. “Elu sih, Ndro…” ; “Waduh, Ndro, Si Mbahurekso ini…” ; adalah beberapa ungkapan dalam film Warkop yang masih saya hafal. Sayang, lama-lama Ayah dan Ibu mengeluhkan jalan cerita film-film Warkop. Terlalu banyak mengeksploitasi wanita, menurut Ibu. “Ceritanya begitu-begitu saja…”timpal Ayah lagi. Seiring usia anggota Warkop yang bertambah tua, ditandai dengan makin jarangnya rambut salah satu personilnya, Indro, mutu lawakannyapun makin kehabisan energi. Rating mereka saat tampil di televisi juga tidak istimewa. Saya lebih suka menyaksikan film-film box office mereka yang diputar ulang, seperti : “Maju Kena Mundur Kena” , “Pokoknya Beres”, atau “IQ Jongkok”, ketimbang sinetron Warkop yang ditayangkan televisi swasta.

Read the rest of this entry »





Strategi Tumbuhkan Minat Menabung Sejak Dini

23 01 2009

Penulis mengenal bank berikut aktivitas didalamnya, semenjak duduk di bangku Taman Kanak-kanak. Kebetulan saja, Ibu selalu mengajak penulis ikut, disaat beliau hendak melakukan transaksi di bank tempat ia menabung. Karena Ibu dahulu seorang wirausahawati, maka frekwensi kunjungan kami ke bank termasuk sering. Adakalanya, kami mengunjungi bank 3 kali dalam seminggu. Untuk menyetor uang, untuk menukarkan uang, atau hanya untuk sekadar mencek jumlah saldo tabungan.

Pada saat penulis menginjak usia sekolah dasar, dikarenakan jadwal masuk sekolah, Ibu mulai jarang mengajak penulis berkunjung ke bank. Beliau biasa pergi ke bank di pagi hari, sementara penulis harus masuk sekolah sampai pukul 12 siang. Namun demikian, justru pada saat penulis menginjak usia SD-lah, penulis mulai membuka rekening di bank yang sama dengan bank dimana ibu menyimpan dan melakukan transaksi keuangan.

Keinginan penulis memiliki tabungan sejak usia 7 tahun itu, setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, tentu saja karena melihat teladan orangtua yang rajin menabung, dan kedua, pelayanan dari customer service atau bagian teller bank, yang jauh lebih bermutu daripada customer service jenis pelayanan umum lainnya. Performansi bank berikut pelayanannya itulah yang meninggalkan kesan mendalam di hati penulis yang saat sering berkunjung ke bank masih berusia balita atau kanak-kanak. Keramah-tamahan, busana para pegawai bank, jauh lebih berkualitas dari performa dan penampilan personil lembaga/perusahaan apapun, yang pernah penulis kunjungi semasa kecil dulu.
Dari pengalaman penulis tersebut, kebiasaan penulis menabung sejak usia dini amat dipengaruhi oleh peran orangtua dan imej performansi bank berikut personil pelayanannya. Sosok-sosok dan lembaga keuangan/perbankan tersebutlah, yang secara langsung maupun tidak amat berpengaruh terhadap motivasi penulis untuk mau menabung sejak dini. Maka, penulispun menarik sebuah asumsi, bahwa untuk mengedukasi anak-anak usia sekolah dasar agar paham dan berminat terhadap jasa-jasa perbankan, sosok-sosok maupun lembaga yang disebut sebelumnya itulah, yang memegang peranan inti dan dituntut untuk dapat mengoptimalkan peranan intinya tersebut.

Read the rest of this entry »





Good Father For Indonesia

22 01 2009

Sejak menjadi bagian dari PT. Insani Technology, saya suka banget merhatiin segala tindak-tanduk Pak Hilmy. Kebijakan-kebijakannya perihal kantor, kesukaannya terhadap sesuatu, dan keapikannya dalam perkara ibadah. Kesan pertama dari pengamatan saya, Pak Hilmy adalah atasan yang sangat berkhidmat kepada para bawahannya. Berbeda dari atasan-atasan saya sebelumnya yang selalu menuntut, mengedepankan punishment, tapi banyak beralasan atau ngedadak galak waktu ditagih janji soal reward.

Untuk urusan ibadahpun Pak Hilmy berhak atas nilai 9, mengingat di anak perusahaan dimana saya baru bergabung itu, beliau kerap memberi contoh mengawalkan shalat, mengerjakan shaum sunnah, dan memerintahkan kami untuk menomorduakan pekerjaan rutin di sepuluh hari terakhir Ramadhan.

Atas kebijakan Pak Hilmy, pada sepuluh hari terakhir Ramadhan jam kerja karyawan dimulai pukul 07.00 dan berakhir pukul 10.00. Memang para karyawan tidak diijinkan pulang, karena jadwal kerja di bulan Ramadhan menurut corporate yang menaungi anak perusahaan, adalah sampai pukul 15.00. Namun sejak pukul 10.00 hingga pukul 15.00 itu, diselingi shalat dzuhur dan ashar, saya dan rekan-rekan lainnya berkesempatan mengkhatamkan bacaan Qur’an. Alhamdulillah, banyak yang berhasil mengkhatamkan Qur’annya di bulan Ramadhan tahun lalu.

Read the rest of this entry »





Pencanangan ‘Tahun Keluarga’ Di Indonesia

22 01 2009

Tak terasa, sudah tiga tahun semenjak kongres anak-anak Indonesia ke-V diselenggarakan. Tiga tahun yang lalu, saya masih aktif sebagai jurnalis salah satu media online, dan kebetulan kebagian tugas menggarap tajuk rencana tentang Hari Anak Nasional yang menghasilkan 17 butir kesepakatan itu. Karena mendadak flu dan terjangkit demam, saya tidak bisa meliput langsung acara puncaknya. Untunglah, TVRI menyiarkan langsung acara puncak peringatan Hari Anak Nasional yang jatuh pada tanggal 23 Juli setiap tahunnya.

Puncak acara pada hari minggu, 24 Juli tiga tahun silam itu, berlangsung di Dunia Fantasi, Ancol, dan dihadiri oleh lebih dari 2000 anak dari seluruh Indonesia. Saat-saat yang paling mencengangkan buat saya waktu itu adalah saat ibu negara, Hj. Ani Yudhoyono, mendongeng dihadapan anak-anak yang memadati wahana Rama-Shinta. Dan momen paling menarik saat sang Ibu negara mendongeng adalah ketika, Ibu Ani meminta Kak Seto, pemerhati masalah anak, menyepertikan senyum kecut sebagaimana tokoh yang tengah didongengkan ibu Ani. Wah, Kak Seto memang sangat kharismatik dihadapan para anak-anak yang menjadi audience-nya. Sesaat Kak Seto menampilkan mimik jenaka menyepertikan senyum kecut dari tokoh utama dongeng yang diberi judul “Tidak Tahu Malu” itu, untuk beberapa saat pula anak-anak yang memadati wahana Rama-Shinta riuh-rendah menimpali beliau. Ada yang nyeletuk meledek, ada yang tertawa terbahak-bahak, ada juga yang hanya tersenyum simpul. Saya yang menyaksikan dari layar televisipun ikut kebawa girang dan tersenyum-senyum juga. Ada perasaan takjub dan haru malah, menyaksikan anak-anak se-Indonesia dari berbagai suku yang berbeda-beda tampak akrab satu sama lain.

Selesai acara di minggu siang 24 Juli tiga tahun itu, ditemani semangkuk baso tahu kuah dan juice sirsak, saya langsung menuju meja kerja dan membuka-buka catatan hasil riset ringan tentang Kongres Anak Nasional yang sudah terselenggara kelima-kalinya. Yang masih saya ingat dari 17 butir kesepakatan dan aspirasi peserta kongres diantaranya adalah : menuntut pemerintah untuk memberikan pemenuhan gizi dan pelayanan kesehatan cuma-cuma bagi anak-anak secara adil dan merata ; mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan pelayanan kesehatan dan mengoptimalkan kinerja rumah sakit, posyandu, puskesmas dan polindes ; menghimbau pemerintah untuk mengawasi peredaran media massa dan media hiburan ; menghimbau pemerintah agar menindak tegas pelaku kekerasan seksual terhadap anak ; serta menghimbau semua pihak untuk menjaga dan melestarikan lingkungan.

Read the rest of this entry »





Dokter Murah Yang Qualified

22 01 2009

Apa yang membuat seseorang sakit gigi, ketika dompetnya tipis, anaknya sedang sakit panas, sementara pekerjaan seabrek belum terselesaikan ? Sebuah kutukankah ini ? Karena mulut yang sulit menjaga perkataan, karena tangan yang lebih sering menadah daripada memberi ?

Pertanyaan itu menggelitik otak saya sepanjang malam, ketika anak demam dan panasnya mencapai 38 derajat dan gigi senut-senut seperti digigit lebah. Seolah-olah lebah Jepang telah masuk disaat mulut sedang menguap lebar, hinggap di gusi, masuk kedalam lubang gigi yang keropok, dan menyengat bagian dasarnya. Obat tradisional Cina Tjap Boeroeng Kakatua-pun tak sanggup mengakhiri penderitaan, setelah tablet analgesic-pun tak mampu meredakan nyeri saraf gigi sepanjang hari. Episode sakit gigi kali ini jadi cukup dramatis karena, terjadi tepat di waktu tengah bulan, ketika kantong nyaris tipis tersedot biaya hidup sehari-hari, dan pekerjaan seabrek menunggu selesai dikerjakan.

“Besok berobat saja, Bang. Biar nggak bengkak dan keterusan.” nasihat istri yang juga ikut-ikutan mumet, sebab tugasnya membuat bahan ajar belum kelar, dan anak kami demam sepanjang malam. Saya iyakan anjurannya itu dengan mengangguk pendek, sambil membenamkan kepala bagian kanan keatas bantal empuk, yang sedikit mengurangi derita sakit gigi yang sempat diolok-olok para sepupu sebagai : derita yang layak masuk nominasi “Sakit Gigi Tahun Ini.”

Read the rest of this entry »





Bob Marley Dan Orang Kita

22 01 2009

Stasiun Bandung, 1993. Dengan masih menggunakan seragam putih-abu, kami bertujuh menyambangi rumah Cunong, buat mendapatkan se-amplop ”Paket Hemat.” Enam linting, barang Aceh katanya, harganya cuman dua puluh rebu. Saya dan temen-temen yang sedang edan-edannya nyoba ini-itu, tanpa pikir panjang langsung menyiapkan subsidi buat menikmati paket barang haram itu. Rencananya, ”Paket Hemat” ini bakal kita nikmatin bareng-bareng di rumah salah seorang temen, di daerah Bandung Utara, yang kebetulan kosong ditinggal nyokap-bokap-nya berlibur.

Singkat kata, setelah melalui proses musyawarah apakah kami mengisap ”Paket Hemat” itu secara bergilir atau bagi rata masing-masing selinting, akhirnya kita sepakat untuk milih : Bagito alias bagi roto selinting-selinting. Jadi, satu orang satu linting. Waktu itu, sebut aja Mamen, yang mengalah untuk tidak mengisap ”Rokok Jah” yang wangi asap pertamanya mirip-mirip abu pembakaran Sate Kambing, yang biasanya bikin saya laper berat. Mamen khawatir gejala sakit nelen-nya bakal merembet jadi sakit tenggorokan, kalo ia nekat ngisep cimeng meskipun cuma sekali sedot.

Hisap demi hisap, kami berenam-pun mulai merasakan dampak rokok pemujaan kaum Rasta itu. Menurut Mamen yang hilang nafsu nyimeng-nya, saya dan keenam kawan mulai bercanda, berkata-kata jorok, makin sableng dan kemudian putus urat malu setelah Rokok Jah mulai nampak tinggal separuh. Ya, karena Teh Manis dan Rokok Jah Made In Atjeh yang kami hisap, sekumpulan siswa es-em-a, kelompok Jomblo Kronis keluaran Cimahi itu berubah jadi : Paguyuban Srimulat. Musik reggae, alunan vokal Bob Marley di lagu No Woman, No Cry, yang mengiringi kekonyolan kami berubah fungsi menjadi soundtrack adegan komedi.

Read the rest of this entry »





Agar IPTEK Tak Membunuh IMTAQ

22 01 2009

Perkembangan teknologi sering dianggap sebagai kebaikan atau kemudahan bagi para penggunanya. Namun, ketika nalar, iman dan skill kita belum memadai atau tidak siap mengikuti perkembangan tersebut, adakah kemudahan dan kebaikan yang dijanjikan itu bisa menjadi kenyataan, bisa kita nikmati ?

Perkembangan teknologi informasi, terkait teknologi telekomunikasi, telah menjadi fenomena masa kini. Berbagai jenis dan macam produk teknologi telekomunikasi terlahir dan mewarnai keseharian, untuk mendukung globalisasi dan konsep ‘dunia tanpa batas’. Basic idea kelahiran teknologi ini sebetulnya sangat sederhana, yaitu : menghubungkan manusia antar seantero dunia. Upaya tersebut memang sudah lama menjadi basic idea dunia teknologi informasi, namun di jaman sekarang, strategi pemasaran menjadi inti dari segala kegiatan yang mencuat dalam perkembangan IT. Alasan pemasaran menjadi pertimbangan utama, dalam hampir setiap kegiatan berbasis IT.

Jika pada masa sebelumnya, penggunaan telepon selular merupakan kemudahan yang hanya dapat dinikmati golongan atas saja, maka kini ia sudah bisa dinikmati oleh golongan menengah bahkan golongan ekonomi rendah. Jika dulu telepon seluler hanya berperan sebagai media komunikasi mouth to mouth (dari mulut ke mulut), namun kini berbagai fitur bisa dinikmati via telepon seluler. Orang bisa mengirimkan pesan text, gambar, bahkan mengakses internet, yang dulu cuma bisa dilakukan saat menghadapi layar monitor komputer.

Read the rest of this entry »





Potensi Ultrapreneur Umat Islam

22 01 2009

Kecepatan informasi membuat dunia seakan menciut. Peristiwa di salah satu belahan bumi dapat segera diketahui oleh orang di belahan bumi lainnya dalam hitungan detik saja. Pola-pola standar dalam lingkungan politik, ekonomi, sosial dan budaya memerlukan modifikasi agar adaptif terhadap ekses daripada perubahan-perubahan yang terjadi begitu cepat. Teknologi informasi dengan tingkat akselerasi yang tinggi, memegang peran sebagai source of changes yang menimbulkan kegairahan baru di dunia usaha. Saat ini, pasar tengah berevolusi dari bentuk marketplace menuju bentuk marketspace. Dalam bentuk marketspace, pertemuan antara pembeli dan penjual telah meninggalkan banyak cara-cara tradisional yang mengharuskan kedua pihak bertemu di suatu tempat. Fenomena yang dikemukakan ahli pemasaran Hermawan Kertajaya ini, timbul karena cyber technology berkembang dengan percepatan yang mengagumkan. Tak pelak lagi, inti daripada percepatan dalam dunia usaha di waktu sekarang adalah akses yang cepat dan reflek yang tanggap terhadap informasi.

Era keterbukaan informasi membuka peluang yang luas bagi para entrepreneur atau wirausahawan untuk melakukan strategic alliance (persekutuan strategis) dan outsourcing strategy, tanpa harus mengesampingkan kreativitas dan jati dirinya. Para entrepreneur itupun diharapkan pula mampu melakukan benchmarking yang synergistic. Sinergisitas ini diupayakan untuk optimal membesarkan, serta memberikan manfaat lebih bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat. Prinsip mutualisme selayaknya dikedepankan disini. Pola kompetisi murni yang sebelum era globalisasi ini banyak dianut, telah melahirkan pemenang dan pecundang. Pola tersebut berkontribusi dalam menciptakan sekat-sekat penutup bagi pertukaran informasi di antara perusahaan-perusahaan. Cara tersebut tidak tepat lagi untuk menggagas pertumbuhan dan kesinambungan usaha pada saat sekarang. Di era ini, keterpurukan yang menimpa satu pihak, akan membawa dampak negatif pula terhadap pihak lainnya. Untuk itulah diperlukan entrepreneur plus yang dapat melakukan strategic alliance, outsourcing strategy dan benchmarking yang synergistic tersebut, hingga tercipta dinamika usaha yang harmonis antar perusahaan-perusahaan yang terlibat. Ahli kewirausahaan, Thoby Mutis, menyebut para entrepreneur dengan kehandalan lebih itu dengan sebutan ultrapreneur.

Umat Islam Indonesia memiliki potensi besar untuk melahirkan para ultrapreneur, dengan potensi kuantitatif sebagai mayoritas di Indonesia. Sebagai contoh, apabila persekutuan strategis tercetus di kalangan para entrepreneur dengan komitmen penegakan ekonomi syari’ah yang dilandasi oleh pertumbuhan, kontinuitas, dan keberkahan, maka dampaknya akan luas sekali, serta mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif secara nasional. Tanpa menutup kemungkinan persekutuan strategis, outsourcing strategic dan benchmarking dengan entrepreneur dari kalangan non-muslim, para ultrapreneur tersebut akan berperan luas dalam pemulihan ekonomi Indonesia, bahkan membawa kegairahan yang kondusif di wilayah regional maupun internasional. Selain itu, dengan landasan tiga fokus utama ekonomi syari’ah yang diungkapkan sebelumnya, maka aktivitas tersebut Insya Alloh akan berfungsi pula sebagai dakwah bil-lisan.

Read the rest of this entry »





Mewujudkan Mimpi Pendidikan Anak Pribumi

22 01 2009

Pada jaman kolonial tidak banyak pribumi desa yang bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Meski secara intelektual, motivasi maupun keuangan mereka mampu, namun faktanya sedikit orang yang bisa meneruskan pendidikan sampai perguruan tinggi. Salah satu penyebab adalah dibatasinya kursi bagi pribumi untuk belajar di sekolah-sekolah berbahasa Belanda. Ketika itu, pribumi yang bersekolah di sana hanya berasal dari golongan tertentu, umpamanya : keturunan bangsawan atau anak-anak pejabat ambtenaar.

Dibandingkan anak-anak bangsa lain yang tinggal di Hindia-Belanda, kesempatan belajar pribumi relatif lebih kecil. Dalam Sejarah Pendidikan Indonesia karangan Prof. Dr. S. Nasution M.A. dikemukakan : pada tahun 1930 anak Belanda berkesempatan 100 kali lebih baik untuk sekolah di M.U.L.O, 1000 kali lebih baik untuk bersekolah di sekolah tingkat menengah atau atas, dibandingkan anak-anak pribumi Indonesia. Begitupun anak-anak Tionghoa. Anak-anak Cina berkesempatan 15 kali lebih banyak untuk masuk sekolah berbahasa Belanda, 10 kali lebih berkesempatan belajar di M.U.L.O, 35 kali lebih berkesempatan melanjutkan ke jenjang sekolah tinggi menengah/atas, daripada anak-anak pribumi asli.

Selain faktor pembatasan, akses lembaga pendidikan bagi pribumi tidak merata di seluruh propinsi, terutama setelah tahun 1892. Mulai tahun tersebut lembaga pendidikan maupun sekolah lanjutan hampir seluruhnya berada di Pulau Jawa. Hingga tahun 1930, M.U.L.O, sekolah pertama yang membuka kesempatan luas bagi lulusan E.L.S dan H.I.S dari pribumi atau Indo-Belanda, nyaris hanya terdapat di Pulau Jawa saja. Kenyataan tersebut memaksa anak-anak luar pulau merantau ke Jawa untuk meneruskan sekolah. Tapi tidak semua anak rantau bisa menyelesaikan sekolahnya. Keterbatasan biaya membuat anak-anak sekolah rendah yang melanjutkan sekolah putus di kelas I atau di kelas II.

Read the rest of this entry »