Pro Kontra Rekayasa Genetika

2 09 2009

Publikasi penemuan bidang sains dan teknologi sering menimbulkan polemik di kalangan masyarakat dunia. Sejak jaman pra-sejarah hingga renaissance, sejak jaman renaissance hingga periode post-modern, polemik seputar penemuan bidang sains dan teknologi selalu memancing perdebatan sengit, dus, suara pro dan kontra yang keras dan meluas, terutama di negara-negara tempat penelitian ilmiah tersebut dilakukan.

Pada awal abad 16, para pendeta Protestan mengecam keras Nicholas Copernicus, yang meyakini bahwasanya bumi dan planet-planet lainnya mengelilingi matahari -bukan sebaliknya, sebagaimana bunyi teori Ptolemaic yang berlaku umum ketika itu. Di awal abad 17, ketika Gereja Katholik mencanangkan gerakan Kontra Reformasi (gerakan kembali kepada kitab suci), semua karya tulis Copernicus diberangus, dimasukkan ke dalam daftar hitam, orang dilarang untuk membacanya. Dan jauh setelah Copernicus tiada, tepatnya tahun 1839, saat patungnya diresmikan di salah satu pojok utama kota Warsawa, Polandia, tak satupun dari pendeta Katholik yang sudi memberikan pemberkatan.

Menguatkan pendapat Copernicus, pada tahun 1632, Galilei Galileo mengumumkan kesimpulan serupa : bumi hanya salah satu diantara banyak planet yang mengitari matahari. Ensiklopedi “1001 Tokoh Penemu Paling Berjasa Bagi Umat Manusia” suntingan Iwan Gayo mengemukakan bahwa pendapat Galileo tersebut, bertentangan dengan kaidah “Benda Langit Yang Sempurna” dari Aristotles, yang berlaku umum di Eropa pada abad ke 17, semasa Galileo hidup. Vatikanpun bereaksi. Paus menuduh scientist kelahiran Pisa, Italia itu telah menyerangnya secara pribadi lewat karya tulisnya : “Dialogue Concerning the Two Chief World Systems: Ptolemaic and Copernican.” Pasca pernyataan Imam Besar Katholik sedunia itu, Galileo kemudian dikenai hukuman tahanan rumah seumur hidup.

***

Menjelang New Millenium, dunia dikejutkan oleh ditemukannya sebuah cara baru dalam hal proses berkembang-biaknya mahluk hidup. Proses kembang biak yang dikenal dengan istilah Kloning itu dinyatakan bisa menghasilkan anakan yang persis sama dengan induknya secara a-seksual (tanpa melalui pembuahan). Adalah Professor Jerry L. Hall, yang pertama berhasil melakukan percobaan Kloning. Konon, peneliti dari Washington University ini pernah membelah embrio manusia menjadi beberapa bagian, sampai masing-masing bagian tersebut berhasil dibiakkan menjadi embrio yang sama. Menyusul kemudian : Dr. Tim Cohen dari Inggris. Ia ditengarai berhasil “membantu” Maureen Ott melahirkan seorang anak perempuan yang dinamai Emma Ott, setelah sebelumnya melalui proses pengkloningan.

Disaat Dr. Ian Walmut, Direktur Tim Roslin Institute, mempublikasikan keberhasilannya dalam mengkloning sel kelenjar susu domba ras dorset asal Finlandia menjadi seekor domba normal, polemik yang sebelumnya hanya riak-riak kecil saja, berubah meluap ke permukaan. Polemik mengenai teknologi kloning itu semakin bertambah panas, ketika Dr. Martine Nijs, peneliti medik asal Belgia, mengaku telah berhasil mengkloning bocah kembar sejak tahun 1993. Menurut Nijs, ketika ia mempublikasikan hal tersebut, tepat pada 9 Maret 1997, klon bocah kembar itu masih terus mengalami masa pertumbuhan.

Seperti yang terjadi pada Copernicus dan Galileo, reaksi masyarakat dunia begitu keras menyoroti dampak, serta mempertanyakan etika teknologi rekayasa genetika. Mayoritas masyarakat dunia memandang ide tersebut sebagai sesuatu yang buruk, rubbish, dan mencampuri wilayah otoritas Tuhan. “Teknologi kloning memperlihatkan betapa kita sudah kehilangan rasa hormat kepada makhluk hidup,”ujar Paus Yohannes Paulus II dalam The Washington Post. “Ada banyak makhluk hidup yang perlu dihormati, bukan hanya digunakan untuk memuaskan nafsu tertentu saja,” tambah Douglas Bruce, direktur Church Of Scotland, yang berlokasi di propinsi tempat diumumkannya penemuan domba kloning Dolly. Dan di Amerika Serikat, Gereja Katholik Detroit,  mengeluarkan press release dalam The Detroit News. “Manusia diciptakan dari citra Tuhan. Dan kloning hendak mengotorinya,” tulis pernyataan itu.

Sesaat setelah Gereja Vatikan Roma mengeluarkan kecaman atas upaya pengkloningan manusia yang marak dilakukan di negara-negara maju pasca publikasi Dr. Ian Walmut, opini masyarakat barat, khususnya Amerika dan Eropa, menunjukkan sentimen negatif. Hampir 90 % responden majalah Time, Newsweek, BBC, atau CNN Television, menabukan rekayasa genetika.  Masyarakat duniapun masih tetap apriori terhadap teknologi kloning ini, kendati Advanced Cell Tecnology (ACT) Inc. dari Worcester, Massachusetts, Amerika Serikat, dalam percobaannya berhasil membiakkan sel tunas (sel stem) menjadi sel tertentu pengganti jaringan tubuh yang rusak sebab penyakit kronis. Meskipun pihak perusahaan bioteknologi itu berusaha meyakinkan masyarakat luas bahwasanya teknologi kloning bisa berguna untuk theurapeutic ( proses penyembuhan penyakit), dunia tetap memandang sinis terhadap ide rekayasa genetika tersebut.

***

Dari kalangan cendekiawan ataupun ulama-ulama dunia Islam, sikap kontra terhadap teknologi kloning inipun sempat mengemuka. Rata-rata mereka mengkhawatirkan keruntuhan institusi perkawinan dan putusnya rantai keturunan, jika teknologi kloning ini dinyatakan halal untuk diterapkan. “Keberhasilan kloning manusia akan mengakibatkan sendi kehidupan keluarga menjadi terancam hilang atau hancur. Oleh karena manusia yang lahir melalui proses kloning tidak dikenal siapa ibu dan bapaknya, atau dia adalah percampuran antara dua wanita atau lebih. Sehingga, tak diketahui siapa ibunya, dan akan sulit dilacak keberadaan bapaknya, ketika anak hasil pengkloningan itu membutuhkan salah satu dari figur ayah atau ibu, ataupun figur keduanya. Dan kalau itu berulang terus, maka bagaimana kita dapat membedakan seseorang dari yang lain, yang juga mengambil bentuk dan rupa yang sama ?” ujar Syaikh Muhammad Ali al-Juzu, seorang Mufti kelahiran Lebanon yang beraliran Islam Sunni. Syaikh Farid Washil yang kini bermukim di Kairo, Mesir, memang mendukung ide kloning untuk penyediaan organ tubuh bagi mereka yang membutuhkan. Namun, ia juga menegaskan bahwa : “Kloning sebagai jalan keluar dari kemandulan jelas tidak bisa dibenarkan. Lagipula, kloning reproduksi manusia bertentangan dengan empat dari lima Maqashid asy-Syar’iah, yaitu : pemeliharaan jiwa, akal, keturunan, dan agama.”

Disamping pendapat yang menentang, ada juga sebagian ulama dan kaum cendekiawan yang sangat antusias mendukung diterapkannya teknologi kloning. Salah satunya adalah Sayyid Muhammad Hasan Al-Amin. “Kalau kita berandai kloning diterapkan pada manusia, maka menurut hemat saya ia merupakan suatu keberhasilan yang besar dan agung untuk kemaslahatan manusia. Pandangan agama secara umum dalam hal ini sejalan dengan pandangan agama terhadap semua keberhasilan ilmiah yang besar dan yang dapat dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia. Kita harus membedakan sisi moral, sosial, dan kemanusiaan dengan pandangan agama menyangkut teori ilmiah tentang kloning.”ujarnya. ”Agama tidak mungkin mengharamkan atau melarang ditemukannya satu teori ilmiah baru yang dapat mengantar kepada pengungkapan rahasia dari sekian banyak rahasia kehidupan, manusia, dan alam raya. Sebaliknya pun demikian. Karena, agama mengundang manusia untuk berpikir, mengamati, menganalisis, dan mengambil kesimpulan.” tambah ulama yang juga Hakim Agung di Mahkamah Tinggi al-Ja’fariyah Lebanon itu.

***

Hampir sepuluh tahun dunia berpolemik soal teknologi kloning. Sampai dengan Oktober 2008 tahun lalu, sidang Komite VI Majelis Umum PBB belum juga menetapkan larangan terhadap pencangkokan sel pada manusia. Ada dua draft resolusi yang satu sama lain memiliki perbedaan yang sangat signifikan, berkenaan dengan batasan larangan pengembangan kloning. Delegasi Costa Rica mengajukan draft resolusi yang melarang seluruh bentuk kloning, baik untuk tujuan reproduksi atau untuk maksud kesehatan. Menurut delegasi-delegasi negara pendukung draft resolusi tersebut, therapeutic cloning tidak bisa dipertanggung-jawabkan secara etika. Prediksi mereka : akan ada penyimpangan dalam pengembangan kloning yang tidak bisa dikontrol sepenuhnya.  Lagipula, proses kloning tersebut hanya akan menguntungkan negara-negara besar saja.

Bertolak belakang dengan draft resolusi yang diajukan oleh delegasi Costa Rica, delegasi Belgia mengajukan draft resolusi yang mengijinkan kloning untuk maksud penelitian yang bakal berkontribusi untuk kesehatan (therapeutic cloning). Dengan pengawasan yang ketat, therapeutic cloning bisa dikembangkan demi menyelamatkan kehidupan manusia. “ Para penderita kanker, AIDS, parkinson, alzheimer bisa berharap banyak dari pengembangan kloning untuk maksud kesehatan.” demikian pendapat Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.” Secara pribadi saya mendukung pengembangan therapeutic cloning.”ujarnya pula.

Menyimak berbagai polemik seputar teknologi kloning, ada kecenderungan mayoritas opini memberi dukungan pada pengembangan kloning untuk kesehatan (therapeutic cloning). Fatwa dari Majma’ Buhus Islamiyah Al-Azhar, yang berkedudukan di Kairo, Mesir, memberikan pengecualian untuk therapeutic cloning. Kendati fatwa yang ditanda-tangani oleh Syaikh Tanthawi itu kurang lebih berbunyi : ”kloning manusia itu haram dan harus diperangi serta dihalangi dengan berbagai cara.”, namun fatwa tersebut membedakan antara pengembangan kloning untuk maksud reproduksi pada manusia dengan pengembangan kloning untuk maksud pembaharuan terhadap organ tubuh manusia yang rusak. Jika kerusakan organ tubuh bisa diatasi dengan kloning,  maka dipersilahkan untuk menempuh prosedur tersebut. Sebab, fatwa itu menimbang : manfaatnya lebih besar daripada mudharatnya.

Terlepas dari pro dan kontra seputar rekayasa genetik pada manusia yang populer dengan istilah kloning itu,  sampai saat ini, belum ada ilmuwan yang berhasil mengkloning primata -kloning yang dianggap bisa menjadi jembatan menuju kloning manusia-  yang paling dekat susunan genetiknya dengan manusia. Prof. Gerald Schatten dari Pittsburgh University mengemukakan bahwasanya belum terdapat kemajuan berarti dalam proses kloning primata, kendati upaya kloning primata ini telah diujikan pada 700 sel telur monyet selama periode enam tahun ini. “Teknik kloning yang digunakan saat ini memusnahkan unsur protein dalam sel telur primata. Waktu nukleus sel telur diangkat untuk diganti dengan DNA sel lain, protein kunci malah ikut terangkat. Padahal protein tersebut sangat dibutuhkan demi keberlangsungan hidup embrio.” ucap Prof. Gerald Schatten, seperti dikutip oleh Harian Kompas. Keterangan itu menjelaskan kematian domba Dolly- yang dianggap monumental dalam Today History Of Science– pada 14 Februari 2003, karena Lung Disease yang parah.  Metode kloning yang diterapkan oleh Dr. Ian Walnut ketika mengkloning Dolly, domba ras dorset Finlandia itu, ternyata malah membuat sel telur primata cacat. Itulah sebabnya, tidak ada hasil kloning yang berumur panjang, yang sehat seratus persen, dan tidak mengalami kerusakan genetik.  (red/aea)


Actions

Information

Leave a comment